Disease Outbreak News

Bird Flu Breaking News

Tuesday 21 August 2007

Karantina dari MASA ke MASA

SEJARAH KARANTINA KESEHATAN


Dr. H. Masrip Sarumpaet, M.Kes
Kepala Bidang Pengendalian Karantina & Surveilans Epidemiologi

KANTOR KESEHATAN PELABUHAN KELAS I MEDAN


I. Sejarah Perkembangan Karantina

Karantina berasal dan kata ‘QUADRAGINTA (latin)” yang artinya : 40, Dulu semua penderita diisolasi selama 40 hari.
Pada tahun 1348 lebih dari 60 juta orang penduduk dunia meninggal karena penyakit “Pes” (Black Death). Pada tahun 1348 Pelabuhan Venesia sebagai salah satu pelabuhan yang terbesar di Eropa melakukan upaya KARANTINA dengan cara menolak masuknya kapal yang datang dan daerah terjangkit Pes serta terhadap kapal yang dicurigai terjangkit penyakit PES (PLAGUE).
Pada tahun 1377 di Roguasa dibuat suatu peraturan bahwa penumpang dari daeah terjangkit penyakit pes harus tinggal di suatu tempat diluar pelabuhan dan tinggal di sana selama 2 bulan supaya bebas dari penyakit. Itulah sejarah tindakan karantina dalam bentuk isolasi pertama kali dilakukan. terhadap manusia.
Pada tahun 1383 di Marseille, Perancis, ditetapkan UU Karantina yang pertama dan didirikan Station Karantina yang pertama. Akan tetapi, peran dari tikus dan pinjal belum diketahui dalam penularan penyakit Pes pada waktu itu.
Pada Kurun waktu 1830 – 1847,WABAH KOLERA melanda EROPA. Atas Inisiatif Ahli Kesehatan telah terlaksana DIPLOMASI PENYAKIT INFEKSI SECARA INTENSIF DAN KERJASAMA MULTILATERAL KESEHATAN MASYARAKAT MENGHASILKAN : INTERNATIONAL SANITARY CONFERENCE, PARIS 1851 dikenal sebagai ISR 1851.

1951 World Health Organization MENGADOPSI REGULASI YANG DIHASILKAN OLEH INTERNATIONAL SANITARY CONFERENCE.

PADA TH 1969 WHO MENGUBAH INTERNATIONAL SANITARY REGULATIONS (ISR) YANG DIHASILKAN OLEH INTERNATIONAL SANITARY CONFERENCE MENJADI : INTERNATIONAL HEALTH REGULATIONS (IHR) dan dikenal sebagai IHR 1969

TUJUAN IHR ADALAH UNTUK MENJAMIN KEAMANAN MAKSIMUM THDP PENYEBARAN PENYAKIT INFEKSI DENGAN MELAKUKAN TINDAKAN YANG SEKECIL MUNGKIN MEMPENGARUHI LALU LINTAS DUNIA
Sehubungan perkembangan Situasi dan Kondisi serta adanya Revisi INTERNATIONAL SANITARY REGULATIONS (ISR) antara lain Third Annotated edition (1966) of the INTERNATIONAL SANITARY REGULATIONS 1951, WHO juga melakukan revisi seperlunya terhadap IHR 1969 antara lain :

1. Pada tahun 1973 WHO melakukan Revisi terhadap INTERNATIONAL HEALTH REGULATIONS (1969) dan dikenal sebagai Additional Regulation 1973
2. Pada tahun 1981 WHO melakukan Revisi terhadap INTERNATIONAL HEALTH REGULATIONS (1969) dan dikenal sebagai Additional Regulation 1981
3. Pada tahun 1983 WHO melakukan Revisi terhadap INTERNATIONAL HEALTH REGULATIONS (1969) dan dikenal sebagai IHR 1969 third annotated edition 1983 (sejak saat ini Penyakit Karantina yang dulunya 6 (enam) Penyakit berobah menjadi 3 (tiga) Penyakit yaitu : Pes (Plague), Demam Kuning (Yellow Fever) serta Kolera  UU Karantina Udara dan UU Karantina Laut hingga saat ini tetap memberlakukan 6 (enam) Penyakit yaitu :
a) PES (PLAGUE) (ICD-9: 020,ICD-10:A 20)
b) KOLERA(ICD - 9 : 001,ICD - 10:A 00)
c) DEMAM KUNING (YELLOW FEVER) (ICD-9:O6O,ICD-10:A 95)
d) CACAR (SMALLPOX) (ICD-9:050,ICD-10:B03)
e) TYPHUS BERCAK WABAHI - THYPHUS EXANTHEMATICUS INFECTIOSA (LOUSE BORNE TYPHUS)
f) DEMAM BOLAK-BALIK (LOUSE BORNE RELAPSING FEVER)

4. Pada tahun 2005 dilakukan Revisi terhadap IHR 1969 melalui sidang WHA dan dihasilkan dokumen yg saat ini dikenal sebagai IHR 2005.
Revisi yang keempat ini diilhami oleh kejadian PANDEMI SARS & BIOTERRORISM pada tahun 2003.


 1 – 12 NOVEMBER 2004 : INTERGOVERNMENTAL WORKING GROUP-1 : KERTAS KERJA PROPOSAL, World Health Organization merevisi International Health Regulation (IHR) 1969
 24 JANUARI 2005 : INTERGOVERMENTAL WORKING GROUP - 2 ON THE REVISION OF IHR :

a) Menghasilkan IHR 2005 DENGAN MENGUSUNG ISSUE : PUBLIC HEALTH EMERGENCY OF INTERNATIONAL CONCERN (PHEIC) (Public Health Emergency of International Concern/ Kedaruratan Kesehatan yg Meresahkan Dunia)
PHEIC adalah KLB yang:
 dapat merupakan ancaman kesehatan bagi negara lain
 kemungkinan membutuhkan koordinasi internasional dalam penanggulangannya

b) Terhitung mulai 15 Juni 2007 bagi semua negara anggota WHO, harus sudah menerapkan IHR 2005 kecuali mereka yang menolak atau mengajukan keberatan.
c) Penolakan atau keberatan harus diajukan selambat-lambatnya 18 bulan dari saat diterima oleh WHA ke 58 (Mei 2005)

TUJUAN IHR 2005
 IHR 2005 : mencegah, melindungi terhadap dan menanggulangi penyebaran penyakit antar negara tanpa pembatasan perjalanan dan perdagangan yang tidak perlu,
 Penyakit : yang sudah ada, baru dan yang muncul kembali serta penyakit tidak menular (contoh: bahan radio-nuklear dan bahan kimia) dalam terminology lain disebut NUBIKA (Nuklir, Biologi dan Kimia)

Catatan:
Semenjak WHO mengadopsi INTERNATIONAL SANITARY REGULATIONS 1951 menjadi INTERNATIONAL HEALTH REGULATIONS (IHR) 1969 dan melakukan perobahan (revisi) sebanyak 5 (Lima) kali, undang-undang Nomor 1 tahun 1962 tentang Karantina Laut serta undang-undang nomor 2 tahun 1962 tentang Karantina Udara yang berlaku di Indonesia belum pernah disesuaikan dengan perobahan-perohan tersebut walupun Indonesia adalah negara yang menerima sepenuhnya regulasi tentang INTERNATIONAL HEALTH REGULATIONS (IHR).

II. Kantor Kesehatan Pelabuhan sebagai Port Health Authority di Pelabuhan/ bandara di Indonesia

Periode HAVEN ARTS (Dokter Pelabuhan)
Pada tahun 1911 DI INDONESIA, Pes masuk melalui Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, kemudian 1916 Pes masuk melalui Pelabuhan Semarang dan selanjutnya tahun 1923 Pes masuk melalui Pelabuhan Cirebon. Pada saat itu Indonesia masih hidup dalam zaman kolonial Belanda. Regulasi yang diberlakukan adalah Quarantine Ordonanti (Staatsblad Nomor 277 tahun 1911). Dalam perjalanan sejarahnya Quarantine Ordonanti (Staatsblad Nomor 277 tahun 1911) telah berulang kali dirubah. Penanganan kesehatan di pelabuhan di laksanakan oleh HAVEN ARTS (Dokter Pelabuhan) dibawah HAVEN MASTER (Syahbandar). Saat itu di Indonesia hanya ada 2 Haven Arts yaitu di Pulau Rubiah di Sabang & Pulau Onrust di Teluk Jakarta

Periode Pelabuhan Karantina.
Pada masa Kemerdekaan, sekitar tahun 1949/1950 Pemerintah RI membentuk 5 Pelabuhan Karantina, yaitu : Pelabuhan Karantina Klas I : Tg. Priok dan Sabang, Pelabuhan Karantina Klas II : Surabaya dan Semarang serta Pelabuhan Karantina Klas III : Cilacap. Inilah periode PERAN RESMI PEMERINTAH RI DALAM KESEHATAN PELABUHAN DIMULAI.
Pada tahun 1959, Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 1959 tentang Penyakit Karantina.
Perkembangan Selanjutnya, untuk memenuhi amanat Pasal 4 dan 6 sub 3 undang-undang tentang Pokok-pokok Kesehatan (UU nomor 9 tahun 1960, Lembaran Negara tahun 1960 nomor 131), TERLAHIRLAH UNDANG-UNDANG NOMOR 1 tahun 1962 tentang Karantina Laut dan UU nomor 2 TAHUN 1962 tentang Karantina Udara.

Periode DKPL (Dinas Kesehatan Pelabuhan Laut) dan DKPU (Dinas Kesehatan Pelabuhan Udara)
 Pada 1970, terbit SK Menkes No.1025/DD /Menkes, tentang pembentukan Dinas Kesehatan Pelabuhan Laut (DKPL) sebanyak 60 DKPL & Dinas Kesehatan Pelabuhan Udara (DKPU) sebanyak 12 DKPU. Baik DKPL maupun DKPU non eselon.
Kegiatan DKPL dan DKPU baik teknis maupun administratif meski satu kota, terpisah.

Periode KANTOR KESEHATAN PELABUHAN
 SK Menkes Nomor 147/Menkes/IV/78, DKPL dan DKPU dilebur menjadi KANTOR KESEHATAN PELABUHAN dan pembinaan teknisnya berada dibawah Bidang Desenban Kantor Wilayah Depkes dimana pimpinan KKP adalah eselon III B. Berdasarkan SK Menkes Nomor 147/Menkes/IV/78KKP terdiri atas :
a) 10 KKP Kelas A
b) 34 KKP Kelas B

SK Menkes 630/Menkes/SK/XII/85, menggantikan SK Menkes No.147 (Eselon KKP sama III B), jumlah KKP berubah menjadi 46 yang terdiri atas :
a) 10 KKP Kelas A
b) 36 KKP Kelas B (ditambah Dili dan Bengkulu)

Periode KKP sebagai UPT Dirjen PP & PL Depkes RI.
Sejak penerapan Undang-undang Otonomi Daerah, otoritas kesehatan ditingkat provinsi yang bernama Kanwil Depkes harus dilebur kedalam struktur Dinas Kesehatan Provinsi. Peraturan Pemerintah tentang Pembagian Kewenangan mengamanatkan bahwa Kekarantinaan sebagai wewenang pemerintah pusat.
Tahun 2004 terbit SK Menkes No 265/Menkes/SK/III/2004 tentang Organisasi & Tata Kerja KKP yang baru. KKP digolongkan menjadi :

a) KKP Kelas I (eselon II B) : 2 KKP
b) KKP Kelas II (eselon III A) : 14 KKP
c) KKP Kelas III (eselon III B) : 29 KKP

Pada tahun 2007 dilakukan revisi terhadap SK Menkes No 265/Menkes/SK/III/2004 tentang Organisasi & Tata Kerja KKP melalui Peraturan Menteri Kesehatan nomor 167/MENKES/PER/II/2007. Dengan terbitnya Permenkes ini, maka bertambahlah 3 (tiga) KKP baru Yaitu : KKP Kelas III Gorontalo, KKP Kelas III Ternate dan KKP Kelas III Sabang.



Pada tahun 2008 dilakukan lagi revisi sekaligus mencabut permenkes 265 tahun 2004 dengan Permenkes 356/MENKES/PER/IV/2008. Sejak berlakunya Peraturan ini, maka di lingkungan Departemen Kesehatan terdapat 7 (tujuh) KKP Kelas I, 21 (dua puluh satu) KKP Kelas II, dan 20 (dua puluh) KKP Kelas III. 



Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 356/MENKES/PER/IV/2008 juga telah mengalami perobahan sebagian isinya melalui Permenkes nomor 2348/MENKES/PER/XI/2011.
Dengan Perobahan terakhir ini, jumlah KKP menjadi 49 dengan Rincian : terdapat 7 (tujuh) KKP Kelas I, 21 (dua puluh satu) KKP Kelas II, dan 20 (dua puluh) KKP Kelas III serta 1 (satu) KKP Kelas IV.



III. PENYAKIT KARANTINA DAN PENYAKIT MENULAR POTENSIAL WABAH

PENYAKIT INFEKSI YANG ANGKA KEJADIANNYA MENINGKAT SECARA BERMAKNA DALAM 20 TAHUN TERAKHIR DAN ATAU MENGANCAM KESEHATAN MASYARAKAT DI MASA DEPAN DIKENAL DENGAN ISTILAH EMERGING INFECTIOUS DISEASE / EID.

EID dibedakan antara reemerging diseases dan new emerging diseases.

Adanya Polio di Sukabumi pada pertengahan tahun 2005 menandai munculnya kembali
penyakit-penyakit (reemerging diseases) yang sudah hilang dari bumi Indonesia. perkembangan berbagai penyakit reemerging diseases dan new emerging diseases KEMBALI mergancam derajat kesehatan masyarakat
Penyakit menular tergolong reemerging diseases yang menjadi perhatian saat ini :

Poliomyelitis, Tuberkulosis, Dengue Demam Berdarah, HIV-AIDS, Demam Typhoid & Salmonellosis, Leptospirosis, Anthrax, Rabies, Pes, Filariasis, Kolera & penyakit diare lainnya, Pneumococcal pneumonia & penyakit ISPA lainnya, Diptheria, Lepra, Infeksi Helicobacter, Ricketsiosis, Pertussis, Gonorrhea & penyakit infeksi menular seksual lainnya, Viral hepatitis, Campak, Varicella/Cacar Air, Chikungunya, Herpes, Japanese encephalitis, Infectious Mononucleosis, infeksi HPV, Influenza, Malaria dll.
Sedangkan kemunculan penyakit new emerging disease diantaranya ditandai dengan merebaknya Avian flu mulai bulan Juni 2005 yang lalu, hingga tanggal 18 Maret 2007 telah mendekati ribuan Kasus dan sebanyak 86 orang diantaranya Positif Avian flu serta meninggal 65 orang. Case Fatality Rate (CFR) atau angka kematian kasus Avian flu pada manusia di Indonesia kini adalah 75,6 persen.
Penyakit infeksi yang baru muncul (New Emerging Diseases) dan mengancam saat ini sebagian besar adalah penyakit bersumber binatang. Misalnya : SARS, Avian flu, Hanta-virus Pulmonary Syndrome, Hanta-virus infection with renal involvement, Japanese Encephalitis, Nipah diseases, West Nile Fever, E. coli O157:H7, BSE/vCJD dll


 KARANTINA ADALAH PEMBATASAN AKTIVITAS ORANG SEHAT ATAU BINATANG YANG TELAH TERPAJAN (EXPOSED) KASUS PENYAKIT MENULAR SELAMA MASA MENULARNYA. (MISALNYA MELALUI KONTAK) UNTUK MENCEGAH PENYEBARAN PENYAKIT SELAMA MASA INKUBASI.

Dibedakan atas ABSOLUTE/COMPLETE QUARANTINE dan MODIFIED QUARANTINE

ABSOLUTE/COMPLETE QUARANTINE

 PEMBATASAN KEBEBASAN BERGERAK BAGI MEREKA YANG TERPAJAN TERHADAP PENYAKIT MENULAR SELAMA PERIODE YANG BERLANGSUNG TIDAK LEBIH LAMA DARI MASA INKUBASI TERLAMA DENGAN SUATU CARA TERTENTU DENGAN TUJUAN MENCEGAH AGAR TIDAK TERJADI KONTAK YANG MUNGKIN MENIMBULKAN PENULARAN KEPADA MEREKA YANG TIDAK TERPAJAN.

MODIFIED QUARANTINE

 PEMBATASAN GERAK PARSIAL / SEBAGIAN DAN SELEKTIF BAGI MEREKA YANG TERPAJAN YANG PADA UMUMNYA, DILAKUKAN BERDASARKAN CARA PENULARAN YANG TELAH DIKETAHUI DAN DIPERKIRAKAN TERKAIT DENGAN BAHAYA PENULARAN. MISALNYA MELARANG ANAK TERKENA CAMPAK UNTUK MASUK SEKOLAH. TERMASUK DIDALAMNYA : PERSONAL SURVEILLANCE DAN SEGREGATION

CARA PENULARAN INFEKSI

 CONTACT TRANSMISSION / MAN-TO-MAN TRANSMISSION
 DROPLET TRANSMISSION : Percikan mengandung mikroorganisma disebarkan dalam jarak dekat (1 –2 mtr) melalui udara
 AIRBORNE TRANSMISSION: menyebar melalui residual particle <>

INTERNATIONAL HEALTH REGULATION 2005 ( IHR 2005 )

PERATURAN KESEHATAN INTERNASIONAL
(INTERNATIONAL HEALTH REGULATION/IHR 2005)

BAGIAN I – DEFINISI, MAKSUD DAN RUANG LINGKUP, PRINSIP-PRINSIP DAN OTORITA YANG BERKOMPETEN

Pasal 1 – Definisi

1. Dalam International Health Regulation (selanjutnya disebut “IHR” atau “Peraturan”) ini, yang dimaksud dengan:

“affected” (terpapar) adalah orang, bagasi, kargo, petikemas, alat angkut, barang, paket pos, atau jenazah manusia yang terinfeksi atau terkontaminasi atau pembawa sumber infeksi atau kontaminasi, yang merupakan risiko bagi kesehatan masyarakat;

“affected area” (daerah terjangkit) adalah lokasi di mana telah direkomendasikan berbagai tindakan oleh WHO sesuai dengan IHR ini;

“aircraft” (pesawat udara) adalah pesawat udara yang melakukan penerbangan internasional;

“airport” (bandar udara/bandara) adalah setiap bandara di mana penerbangan internasional datang dan berangkat;

“arrival” (kedatangan) alat angkut adalah:
(a) dalam hal kapal laut, saat tiba atau merapat/berlabuh di lokasi yg telah ditentukan di pelabuhan;
(b) dalam hal pesawat udara, saat tiba di suatu bandara;
(c) dalam hal kendaraan navigasi darat yang melakukan perjalanan internasional, saat tiba di pos lintas batas;
(d) dalam hal keretapi atau kendaraan bermotor, saat tiba di pos lintas batas

“baggage”(bagasi) adalah barang pribadi dari seorang penumpang;
“cargo” (kargo) adalah barang yang dibawa oleh suatu alat angkut atau di dalam petikemas;

“competent authority” (otorita yang berkompeten) adalah otorita yang bertanggung jawab bagi penerapan berbagai tindakan yang disyaratkan IHR

“container” (petikemas) adalah suatu alat pembawa barang yang:
(a) cukup kuat dan cocok untuk penggunaan berulang kali;
(b) dirancang khusus untuk kemudahan membawa barang dengan berbagai alat angkut tanpa perlu membongkarnya kembali.;
(c) dilengkapi dengan alat guna memudahkan pemindahan ke alat angkut lain

(d) dirancang khusus untuk memudahkan pengisian dan pengeluaran barang;

“container loading area” (lokasi pemuatan petikemas) adalah tempat khusus untuk bongkar muat peti kemas yang digunakan pada rute internasional;

“contamination” (pencemaran) adalah ditemukannya kuman penyakit atau bahan beracun pada permukaan tubuh manusia atau hewan atau pada suatu produk yang akan dikonsumsi atau pada benda mati lainnya, termasuk alat angkut, yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan masyarakat;

“conveyance” (alat angkut) adalah pesawat udara, kapal laut, keretapi, kendaraan bermotor atau alat angkut lainnya yang digunakan dalam melakukan perjalanan internasional;

“conveyance operator” (operator alat angkut) adalah seseorang yang berwenang untuk mengoperasikan alat angkut atau agen suatu perusahaan

“crew” (kru/awak) adalah mereka yang berada dalam alat angkut yang bukan penumpang;

“decontamination” (dekontaminasi) adalah prosedur untuk menghilangkan kuman penyakit atau bahan beracun pada permukaan tubuh manusia atau hewan atau pada suatu produk yang akan dikonsumsi atau pada benda mati lainnya, termasuk alat angkut, yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan masyarakat;

“departure” (keberangkatan) bagi orang, bagasi, kargo, alat angkut atau barang, adalah keadaan saat meninggalkan suatu wilayah;

“deratting” (hapus tikus) adalah prosedur untuk memberantas atau membunuh binatang mengerat/tikus yang terdapat didalam bagasi, kargo, petikemas, alat angkut, ruangan, barang dan paket pos di pelabuhan masuk;

“Director-General” (Direktur Jenderal) adalah Direktur Jenderal WHO;

“disease” (penyakit) adalah suatu penyakit atau kondisi medik, terlepas dari asal atau sumbernya, yang dapat membahayakan manusia;

“disinfection” (hapus hama) adalah prosedur untuk menghilangkan kuman penyakit pada permukaan tubuh manusia atau hewan, pada bagasi, kargo, petikemas, alat angkut, barang dan paket pos, dengan menggunakan bahan kimia atau bahan fisika;


“disinsection” (hapus serangga) adalah prosedur untuk mengendalikan atau membunuh serangga yang membawa penyakit pada manusia, yang terdapat dalam bagasi, kargo, petikemas, alat angkut, barang dan paket pos;

“event” (kejadian/KLB) adalah manifestasi dari penyakit atau suatu keadaan yang berpotensi menimbulkan penyakit;

“free pratique” (izin bebas masuk) adalah izin bagi kapal laut untuk memasuki suatu pelabuhan, menaikan atau menurunkan penumpang , membongkar atau memuat kargo atau menyimpannya; izin bagi pesawat udara, setelah mendarat, untuk menaikkan atau menurunkan penumpang, membongkar atau memuat kargo atau menyimpannya; dan izin bagi kendaraan bermotor, pada waktu kedatangan untuk menaikkan atau menurunkan penumpang, membongkar atau memuat kargo atau menyimpannya;

“goods” (barang) adalah produk-produk nyata, termasuk hewan dan tumbuhan, yang dibawa dari/ke luar negeri, termasuk yang digunakan oleh alat angkut;

“ground crossing” (lintas batas darat) adalah batas darat di suatu negara yang digunakan untuk melintas ke negara lain, termasuk yang dilalui oleh kendaraan bermotor dan kereta api.

“ground transport vehicle” (kendaraan bermotor) adalah alat angkut untuk transportasi darat dalam perjalanan internasional, termasuk kereta api, bus, lori dan mobil;

“health measure” (tindakan penyehatan) adalah prosedur yang dilakukan untuk mencegah penyebaran penyakit atau kontaminasi; prosedur ini tidak mencakup tidak termasuk penegakan hukum dan menjaga keamanan;

“ill person” (orang sakit) adalah seseorang yang menderita gangguan fisik yang dapat membahayakan kesehatan masyarakat;

“infection” (infeksi) adalah masuk dan berkembang-biaknya kuman penyakit dalam badan manusia dan hewan yang dapat membahayakan kesehatan masyarakat;

“inspection” (pemeriksaan) adalah pemeriksaan oleh otorita yang berkompeten atau yang dibawah pengawasannya terhadap wilayah, bagasi, petikemas, alat angkut, ruangan, barang atau paket pos, termasuk data dan dokumentasi yang relevan, untuk menentukan ada tidaknya risiko bagi kesehatan masyarakat;

“international traffic” (lalu-lintas internasional) adalah pergerakan orang, bagasi, kargo, petikemas, alat angkut, barang atau paket pos melintasi perbatasan internasional, termasuk perdagangan internasional;


“international voyage” (perjalanan internasional) adalah:
(a) dalam hal alat angkut, suatu perjalanan yang mencakup lebih dari satu negara. Atau perjalanan yang meliputi satu atau beberapa wilayah negara yang sama, dalam hal alat angkut tersebut telah melalui wilayah negara lain, tanpa singgah, sepanjang perjalanannya.

(b) bagi seseorang yang melakukan perjalanan, memasuki wilayah Negara lain. .....



“intrusive” (intrusif) adalah kemungkinan munculnya ketidak-nyamanan karena adanya kontak erat atau intim atau mencecar dengan pertanyaan ;

“invasive”(invasif) adalah tusukan atau sayatan pada kulit atau memasukan alat atau benda-benda asing kedalam tubuh, atau pemeriksaan pada rongga tubuh. Dalam IHR, pemeriksaan telinga, hidung dan mulut, pengukuran suhu tubuh menggunakan termometer telinga/mulut/kulit atau pemindai panas; inspeksi; auskultasi; palpasi luar; retinoskopi; pengumpulan air seni, feses atau sampel air liur; pengukuran tekanan darah; dan elektrokardiografi, harus dianggap sebagai tindakan non-invasif;


“isolation” (isolasi) adalah pemisahan orang sakit atau orang yang terkontaminasi kuman penyakit. Atau pemisahan bagasi, peti kemas, alat angkut, barang, atau paket pos yang terpapar kuman penyakit dari orang/barang lainnya sedemikian rupa untuk mencegah penyebaran penyakit atau kontaminasi;

“medical examination” (pemeriksaan medik) adalah pemeriksaan awal terhadap seseorang oleh petugas kesehatan yang berwenang atau oleh seseorang yang berada dibawah pengawasan otorita yang berkompeten, untuk menentukan status kesehatan orang tersebut dan kemungkinan membahayakan kesehatan orang lain. Pemeriksaan dapat pula mencakup dokumen kesehatan, dan pemeriksaan fisik bila hal ini benar benar dibutuhkan.
“National IHR Focal Point” (Focal-Point IHR Nasional) adalah institusi/individu yang ditunjuk oleh setiap negara, yang setiap waktu dapat dihubungi oleh Contact-Point IHR WHO, sesuai dengan ketentuan dalam IHR ini.

“Organization” or “WHO” (Organisasi” atau “WHO”) adalah Organisasi Kesehatan Dunia;

“permanent residence” (izin tinggal tetap) pengertiannya sesuai dengan ketentuan hukum negara yang bersangkutan;

“personal data” (data pribadi) adalah setiap informasi yang terkait dengan identitas seseorang;

“point of entry” (pintu masuk) adalah suatu perlintasan internasional untuk masuk dan keluar bagi mereka yang melakukan perjalanan, bagasi, kargo, petikemas, alat angkut, barang dan paket pos.


“port” (pelabuhan) adalah pelabuhan laut atau pelabuhan yag terletak pada suatu badan sungai, di mana kapal yang melakukan perjalanan internasional tiba dan berangkat

“postal parcel” (paket pos) adalah suatu barang yang beralamat atau paket yang dikirim secara internasional melalui layanan pos atau layanan pengiriman lainnya;

“public health emergency of international concern” (kedaruratan kesehatan masyarakat yang meresahkan dunia, disingkat: PHEIC) adalah kejadian/KLB luar biasa dengan ciri ciri berikut:
(i) membahayakan kesehatan masyarakat negara lain melalui lalu lintas/perjalanan internasional, dan
(ii) berpotensi memerlukan kerjasama/koordinasi internasional;

“public health observation” (pengamatan kesehatan) adalah pemantauan status kesehatan seseorang selama beberapa waktu untuk menentukan apakah ybs tertular penyakit;

“public health risk” (risiko kesehatan masyarakat) adalah risiko yang mungkin berpengaruh buruk terhadap kesehatan masyarakat dengan pengutamaan pada faktor risiko yang dapat menyebar secara internasional atau dapat menyebabkan gangguan langsung dan serius;

“quarantine” (karantina) adalah pembatasan kegiatan dan/atau pemisahan seseorang tersangka (suspek) yang tidak sakit atau barang, petikemas, alat angkut, atau barang yang tersangka (suspek) dari orang/ barang lain, sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi;

“recommendation” and “recommended” (rekomendasi” dan “direkomendasikan) adalah rekomendasi sementara atau rekomendasi tetap yang diterbitkan sesuai dengan ketentuan IHR;

“reservoir” (sumber penularan) adalah hewan, tumbuhan atau benda di mana bibit penyakit biasanya hidup. Sumber penularan ini dapat merupakan risiko bagi kesehatan masyarakat;

“road vehicle” (kendaraan bermotor) adalah kendaraan bermotor selain kereta api;

“scientific evidence” (bukti ilmiah) adalah informasi yang sudah berlandaskan metode ilmiah dan dapat dijadikan bukti

“scientific principles” (prinsip ilmiah), adalah hukum dasar atau fakta alamiah telah dikenal melalui metode ilmiah.

“ship” (kapal) adalah kapal laut atau kapal navigasi domestik dalam suatu perjalanan internasional;

“standing recommendation” (rekomendasi tetap) adalah anjuran tidak mengikat yang dikeluarkan oleh WHO dalam menghadapi risiko kesehatan masyarakat , sesuai dengan Pasal 16, menyangkut tindakan rutin atau periodik yang sesuai dengan, yang diperlukan untuk mencegah atau mengurangi penyebaran penyakit secara internasional dengan sesedikit mungkin menimbulkan hambatan pada lalu-lintas internasional;

“surveillance” (pengamatan) adalah pengumpulan, pengolahan dan analisis data secara sistematis untuk kepentingan kesehatan masyarakat serta penyebaran informasi secara tepat waktu untuk penilaian dan pengambilan tindakan sesuai dengan kebutuhan;

“suspect” (tersangka) adalah orang, bagasi, kargo, petikemas, alat angkut, barang, atau paket pos yang dianggap telah terpapar atau mungkin terpapar suatu faktor risiko yang dapat menjadi sumber penularan penyakit;

“temporary recommendation” (rekomendasi sementara) adalah anjuran tidak mengikat yang dikeluarkan oleh WHO sesuai dengan Pasal 15, untuk diterapkan dalam waktu terbatas, spesifik sesuai dengan faktor risiko, sebagai respons terhadap PHEIC, untuk mencegah atau mengurangi penyebaran penyakit secara internasional, dan dengan sesedikit mungkin menimbulkan hambatan terhadap terhadap lalu-lintas internasional;

“temporary residence” (tempat tinggal sementara) interpretasi sama seperti yang tercantum dalam undang-undang negara yang bersangkutan

“traveller” (orang yang bepergian) adalah seseorang yang melakukan perjalanan internasional;

“vektor” (vektor) adalah serangga atau hewan lain yang biasanya membawa kuman penyakit yang merupakan suatu risiko bagi kesehatan masyarakat;

“verification” (verifikasi) adalah penyediaan informasi oleh negara anggota kepada WHO untuk mengkonfirmasikan status suatu kejadian/KLB di satu atau beberapa wilayah negara tersebut;

“WHO IHR Contact Point” (Contact-Point IHR WHO) adalah unit di dalam WHO yang dapat dihubungi setiap waktu oleh Focal-Point IHR Nasional.

2. Kecuali ditentukan lain, acuan pada IHR termasuk lampirannya.


Pasal 2 Tujuan dan Ruang Lingkup

IHR bertujuan mencegah, melindungi terhadap, mengendalikan penyebaran penyakit secara internasional sesuai dengan dan terbatas pada faktor risiko yang dapat mengganggu kesehatan., dengan sesedikit mungkin menimbulkan hambatan pada lalu-lintas dan perdagangan internasional;


Pasal 3 Prinsip

1. Pelaksanaan IHR harus menghormati sepenuhnya martabat, hak asasi dan kebebasan hakiki manusia.

2. Pelaksanaan IHR harus mengikuti Piagam PBB dan Konstitusi WHO.


3. Pelaksanaan IHR harus bersifat universal guna melindungi seluruh dunia dari ancaman penyakit.

4. Negara anggota, sesuai dengan Piagam PBB dan hukum internasional, memiliki kedaulatan untuk membuat dan melaksanakan undang-undang sesuai dengan kebijakan kesehatannya. Dalam menerapkan kedaulatannya, tujuan IHR harus senantiasa diperhatikan.


Pasal 4 Otorita/Pejabat yang berkompeten

1. Setiap negara anggota harus menunjuk Focal-Point nasional IHR dan pejabat yang bertanggung jawab di wilayah dalam pelaksanaan IHR.

2. Focal-Point Nasional IHR harus dapat dihubungi setiap waktu oleh Contact-Point(orang yang harus dihubungi) IHR WHO sesuai dengan paragraf 3 Pasal ini. Fungsi Focal-Point Nasional IHR meliputi:

(a) mengirimkan kepada Contact-Point IHR WHO, laporan mengenai pelaksanaan IHR khususnya yang menyangkut Pasal 6 sampai 12; dan

(b) menyebarluaskankan informasi kepada dan menghimpun laporan dari sektor terkait, termasuk mereka yang bertanggung jawab terhadap pengamatan penyakit dan pelaporan, pintu masuk, sarana pelayanan kesehatan, klinik dan rumah sakit.


3. WHO harus menunjuk Contact-Point IHR, yang harus dapat dihubungi setiap waktu oleh Focal-Point Nasional IHR. Contact-Point IHR WHO harus mengirimkan hal-hal penting mengenai pelaksanaan IHR ini, utamanya menyangkut Pasal 6 sampai Pasal 12, kepada Focal-Point Nasional IHR. Contact-Point IHR WHO ada di kantor pusat dan di tingkat regional.

4. Negara anggota harus menginformasikan kepada WHO data rinci dari Focal-Point IHR Nasional. Demikian pula sebaliknya. Data tersebut harus terus dimutakhirkan. WHO akan mengirimkan kepada seluruh negara anggota informasi yang menyangkut focal point nasional IHR yang telah diterimanya sesuai dengan pasal ini.


BAGIAN II – INFORMASI DAN RESPONS KESEHATAN MASYARAKAT
(Respons di bidang kesehatan)

Pasal 5 Pengamatan (surveillance)

1. Setiap Negara Anggota harus mengembangkan, memperkuat dan memantapkan, sesegera mungkin tetapi tidak lebih dari lima tahun sejak berlakunya IHR kemampuan untuk mendeteksi, menilai, memberitahukan dan melaporkan kejadian/KLB sesuai dengan IHR sebagaimana digariskan pada Lampiran 1.

2. Sebagai tindak lanjut penilaian, sesuai dengan paragraf 2, Bagian-A dari Lampiran- 1, suatu Negara Anggota dapat melaporkan kepada WHO berdasarkan kebutuhan yang sesungguhnya dan rencana pelaksanaan. Dengan melakukan hal ini akan diberikan tambahan waktu selama dua tahun untuk memenuhi syarat yang tercantum pada paragraf-1 Pasal ini. Dalam keadaan khusus, dan didukung oleh rencana pelaksanaan baru, Negara Anggota dapat meminta lagi perpanjangan untuk waktu paling lama dua tahun dari Direktur Jenderal. Sebelum memutuskan, Direktur Jenderal akan meminta pertimbangan suatu Komite sesuai dengan Pasal 50 (selanjutnya disebut “Komite Penelaah/Review Committee”). Setelah jangka waktu yang disebutkan pada paragraf 1 Pasal ini, Negara anggota yang telah memperoleh perpanjangan waktu harus melaporkan setiap tahun kepada WHO tentang kemajuan pelaksanaan IHR secara menyeluruh.

3. Apabila diminta, WHO harus membantu Negara Anggota, untuk mengembangkan, memperkuat dan memantapkan kemampuan negara yang bersangkutan sesuai dengan paragraf-1 Pasal ini.

4. WHO harus mengumpulkan informasi mengenai kejadian/KLB/KLB melalui kegiatan surveilansnya dan menilai potensi kejadian/KLB/KLB tersebut dalam penyebaran penyakit dan kemungkinan terhambatnya lalu-lintas internasional.

Informasi yang diterima oleh WHO sesuai dengan paragraf ini, bila perlu, harus ditangani sesuai dengan Pasal 11 dan 45.

Pasal 6 Pelaporan

1. Setiap Negara Anggota harus menilai kejadian/KLB di wilayahnya dengan menggunakan algoritme pada Lampiran- 2. Setiap Negara Anggota harus melapor ke WHO dalam waktu 24 jam semua kejadian/KLB/KLB yang mungkin merupakan PHEIC, dengan alat komunikasi paling efisien yang tersedia, melalui Focal-Point Nasional IHR. Selain itu, tindakan yang telah diambil dalam menghadapi kemungkinan PHEIC tersebut harus pula dilaporkan. Bila kejadian/KLB/KLB yang dilaporkan ke WHO merupakan kompetensi/domain Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA), WHO harus segera melapor ke IAEA.

2. Setelah melapor suatu kejadian/KLB Negara Anggota ybs harus terus memberitahu WHO, mengenai definisi kasus, hasil laboratorium, sumber dan jenis risiko, jumlah kasus dan kematian, kondisi yang menimbulkan penyebaran penyakit dan tindakan penyehatan yang dilakukan. Bila perlu laporkan pula kesulitan yang dihadapi dan bantuan yang diperlukan dalam menanggulangi kejadian/KLB yang berpotensi menimbulkan PHEIC.

Pasal 7 Informasi menyangkut Kejadian/KLB

Negara Anggota harus melapor ke WHO bila mendeteksi kejadian/KLB luar biasa yang dapat menimbulkan PHEIC di wilayahnya, terlepas dari mana sumbernya.Semua informasi yang berkaitan dengan kejadian/KLB ini harus disampaikan ke WHO.Bila menghadapi kejadian/KLB seperti ini, semua ketentuan dalam Pasal-6 harus dipegang teguh/diikuti.

Pasal 8 Konsultasi

Dalam hal kejadian/KLB di wilayah negara anggota tidak memerlukan pelaporan sebagai dimaksud pada Pasal 6, khususnya menyangkut kejadian/KLB di mana tidak cukup tersedia informasi untuk melengkapi algoritme pada Lampiran 2, WHO tetap meminta untuk diberitahu melalui Focal-Point IHR Nasional perihal jenis tindakan yang telah diambil sekaligus konsultasi jenis tindakan yang paling tepat. Komunikasi tersebut akan diperlakukan sesuai dengan paragraf 2 s/d 4 Pasal 11. Akhirnya Negara Anggota dapat meminta bantuan WHO untuk menilai setiap data epidemilogi yang telah dikumpulkan oleh Negara tersebut.

Pasal 9 Laporan Lain

1. WHO mungkin menerima laporan lain selain laporan dari negara anggota ybs. Setelah melakukan analisis epidemiologis yang mendalam, WHO akan memberitahu negara di mana diduga telah terjadi suatu kejadian/KLB Sebelum mengambil tindakan terhadap kejadian/KLB ini, WHO harus berusaha memperoleh verifikasi dari Negara Anggota yang bersangkutan, sesuai dengan prosedur yang tertuang pada Pasal-10. Kejadian/KLB ini akan dilaporkan ke semua negara anggota. Sumber laporan bila dianggap perlu untuk dilindungi, akan dirahasiakan. Informasi tentang kejadian/KLB itu akan digunakan sesuai dengan prosedur yang tertuang dalam Pasal 11.

2. Negara Anggota, sepanjang memungkinkan, harus memberitahu WHO dalam waktu 24 jam setelah memperoleh bukti adanya faktor risiko di luar wilayahnya yang dapat mengganggu kesehatan masyarakat dan mungkin menyebar ke negara lain. Manifestasinya dapat berupa impor dan ekspor:
(a) kasus manusia;
(b) vektor yang membawa infeksi/ kontaminasi atau;
(c) barang yang terkontaminasi.

Pasal 10 Verifikasi

1. WHO harus meminta, sesuai dengan Pasal 9, verifikasi dari Negara Anggota, laporan dari sumber lain, selain yang berasal dari laporan atau hasil konsultasi negara ybs, yang menyangkut berbagai kejadian/KLB yang dapat menimbulkan PHEIC, yang diduga berada di wilayahnya. Dalam hal ini, WHO harus meminta negara ybs untuk memverifikasi laporan dimaksud.

2. Sesuai dengan paragraf di atas, setiap negara anggota harus memverifikasi dan menyampaikan kepada WHO:
(a) dalam waktu 24 jam, informasi awal atau konfirmasi telah menerima permintaan untuk verifikasi suatu kejadian/KLB di wilayahnya.
(b) dalam waktu 24 jam, informasi yang dimiliki dari kejadian/KLB tersebut beserta perkembangannya dan,
(c) penilaian yang telah dilakukan sesuai dengan ketentuan Pasal-6, termasuk informasi yang berkaitan, sebagaimana tertuang pada Pasal tersebut.

3. Apabila WHO menerima informasi mengenai kejadian/KLB yang dapat menimbulkan PHEIC, WHO harus menawarkan bantuan guna menilai potensi penyebaran penyakit ke negara lain, kemungkinan menimbulkan hambatan pada lalu-lintas internasional dan kesesuaian dengan tindakan yang telah diambil. Dalam kegiatan ini, WHO dapat bekerjasama dengan organisasi lain` serta memobilisasi bantuan internasional. Bila diminta oleh Negara Anggota tersebut, WHO harus memberikan dukungan informasi untuk memudahkan kerjasama tersebut.

4. Bila suatu Negara Anggota tidak bersedia menerima tawaran kerjasama, WHO, dengan mempertimbangkan besarnya risiko terhadap kesehatan masyarakat, dapat memberikan informasi tentang kejadian/KLB tersebut kepada Negara lain sambil membujuk negara anggota yang tidak mau bekerjasama tersebut karena suatu alasan tertentu.

Pasal 11 Penyediaan Informasi oleh WHO

1. Sesuai dengan paragraf-2 Pasal ini, WHO harus secepat dan seefisien mungkin mengirimkan kepada seluruh Negara Anggota, dan sesuai dengan kebutuhan, kepada organisasi antar pemerintah yang relevan, informasi yang telah diterima sesuai dengan Pasal-5 s/d Pasal-10, yang dibutuhkan oleh negara Negara Anggota guna mengambil tindakan yang diperlukan. WHO harus memberitahu Negara Anggota lainnya, agar dapat bertindak dengan tepat apabila mengalami kejadian/KLB serupa..

2. WHO harus menggunakan informasi yang diterima, sebagaimana diatur pada Pasal-6 dan Pasal-8 dan paragraf-2 dari Pasal-9, untuk verifikasi, penilaian dan bantuan sesuai dengan IHR. Apabila negara bersangkutan tidak menyetujui, informasi ini tidak akan diteruskan ke negara anggota lainnya, kecuali:

(a) besar kemungkinan kejadian/KLB tersebut bisa menjadi PHEIC, sesuai dengan Pasal 12; atau

(b) WHO membuktikan, secara epidemiologis, telah terjadi penyebaran infeksi atau kontaminasi ke negara lain.atau,

(c) adanya bukti bahwa:
(i) penanggulangan peneyebaran penyakit kemungkinan besar tidak akan berhasil karena sifat tertentu dari kontaminasi, kuman penyakit, vektor atau reservoir; atau
(ii) Negara Anggota tidak memilki kemampuan yang memadai untuk mencegah perluasan penyebaran penyakit; atau

(d) sifat dari lalu lintas internasional yang memungkinkan terpaparnya manusia, bagasi, kargo, petikemas, alat-angkut, barang atau paket pos terhadap infeksi atau kontaminasi, membutuhkan tindakan internasional secepatnya;

3. WHO harus berkonsultasi dengan Negara Anggota di mana ada kejadian/KLB di wilayahnya, sebelum menyebarluaskan informasi ke negara anggota lain informasi yang tertera pada Pasal ini.

4. Apabila WHO ingin menyebarluaskan informasi yang diperoleh sesuai dengan paragraf-2 Pasal ini, kepada Negara Anggota lainnya sesuai dengan IHR, WHO dapat juga mengumumkannya secra luas, bila informasi tentang kejadian/KLB yang sama tersebut tidak menjadi rahasia umum lagi dan ada kebutuhan penyebarluasan informasi dari sumber yang dapat dipercaya dan bertanggungjawab.

Pasal 12 Ketentuan tentang PHEIC

1. Direktur Jenderal harus menetapkan, berdasarkan informasi yang diterima, dari suatu Negara Anggota, apakah kejadian/KLB yang dilaporkan itu suatu PHEIC atau bukan dengan mengacu pada kriteria dan prosedur dalam IHR.

2. Bila dari paragraf 1 di atas Direktur Jenderal menduga bahwa PHEIC sedang berlangsung, ia harus berkonsultasi dengan Negara Anggota yang melaporkan kejadian/KLB tersebut. Bila Direktur Jenderal dan Negara Anggota ybs sepakat dengan dugaan tersebut, Direktur Jenderal selanjutnya, sesuai dengan prosedur dalam Pasal-49, akan meminta pendapat Komite yang dibentuk menurut Pasal-48 (selanjutnya disebut Komite Darurat) untuk mengeluarkan rekomendasi sementara yang tepat.

3. Bila, setelah berkonsultasi sesuai dengan paragraf 2 di atas, Direktur Jenderal dan Negara Anggota ybs tidak mencapai konsensus dalam 48 jam tentang telah terjadinya PHEIC, keputusan harus dibuat sesuai dengan prosedur yang diatur dalam Pasal 49.

4. Dalam menentukan apakah suatu kejadian/KLB merupakan PHEIC, Direktur Jenderal harus mempertimbangkan:

(a) Informasi yang diberikan oleh Negara Anggota yang bersangkutan;
(b) Algoritme pada Lampiran 2;
(d) Anjuran dari Komite Darurat;
(e) Prinsip dan bukti ilmiah yang ada dan informasi lain yang relevan; dan
(f) Penilaian risiko terhadap kesehatan manusia, risiko penyebaran penyakit secara internasional dan risiko terhambatnya lalu-lintas internasional.

5. Bila Direktur Jenderal, setelah berkonsultasi dengan Negara Anggota ysng melaporkan terjadinya PHEIC, beranggapan bahwa PHEIC telah berakhir, ia harus mengambil keputusan sesuai dengan prosedur pada Pasal 49.

Pasal 13 Tindakan di bidang kesehatan

1. Setiap Negara Anggota harus mengembangkan, memperkuat dan memantapkan, sesegera mungkin tetapi tidak lebih dari lima tahun dari mulai berlakunya IHR bagi Negara tersebut, kapasitas untuk menanggulangi secara cepat dan efektif risiko kesehatan PHEIC seperti diatur dalam Lampiran-1. WHO harus menerbitkan, setelah berkonsultasi dengan Negara Anggota, pedoman yang akan digunakan oleh Negara Anggota guna meningkatkan kemampuan penanggulangan PHEIC.

2. Sebagai kelanjutan penilaian sebagaimana dimaksud dalam Paragraf-2, Bagian A dari Lampiran--1, Negara Anggota dapat meminta kepada WHO, dengan alasan yang masuk akal disertai rencana penerapan IHR, perpanjangan waktu sampai 2 tahun untuk memenuhi ketentuan yang tercantum pada paragraf 1 Pasal ini. Dalam hal yang sangat khusus dan didukung oleh rencana penerapan IHR baru, Negara Anggota dapat meminta perpanjangan berikutnya paling lama dua tahun. Sebelum memutuskan, Direktur Jenderal akan meminta pertimbangan Komite Penelaah. Setelah jangka waktu yang disebutkan di dalam paragraf 1 Pasal ini, Negara Anggota yang memperoleh perpanjangan harus melaporkan kemajuan penerapan IHR secara lengkap, setiap tahun kepada WHO.

3. Atas permintaan Negara Anggota, WHO harus memberikan bantuan penanggulangan terhadap risiko yang dapat mengganggu kesehatan serta menilai efektivitas tindakan pengendalian setempat. Bila perlu, akan dikerahkan pakar internasional guna membantu negara ybs.

4. Bila WHO, setelah berkonsultasi dengan Negara Anggota terkait sesuai dengan dengan Pasal-12, menetapkan bahwa PHEIC sedang berlangsung, WHO dapat menawarkan bantuan, di samping dukungan yang tercantum dalam paragraf-3 Pasal ini. Bantuan dapat mencakup penilaian terhadap besarnya risiko yang mengancam masyarakat dunia dan efektivitas penanggulangan. Selain itu WHO dapat pula mengerahkan pakar internasional guna membantu analisa setempat. Bila diminta oleh Negara Anggota, WHO harus menyertakan informasi yang berkaitan dengan bantuan tersebut.

5. Bila diminta oleh WHO, Negara Anggota sebisa mungkin harus menyediakan dukungan bagi kegiatan penanggulangan dengan koordinasi WHO.

6. Bila diminta, WHO harus menyediakan pedoman dan bantuan yang sesuai dengan kepada Negara Anggota lain yang terjangkit atau terancam oleh PHEIC.

Pasal 14 Kerjasama WHO dengan Organisai antar Pemerintah dan Badan Internasional

1. WHO harus bekerjasama dan mengkoordinasikan kegiatannya, sesuai dengan keperluan, dengan organisasi antar pemerintah lainnya yang kompeten atau badan internasional dalam penerapan IHR termasuk melalui kesepakatan lainnya.

2. Dalam hal suatu kejadian/KLB merupakan kompetensi instansi antar pemerintah atau lembaga internasional lainnya, WHO harus mengkoordinasikan kegiatannya dengan berbagai organisasi tersebut untuk menjamin bahwa tindakan yang diambil telah sesuai dengan IHR.

3. Meskipun banyak pengaturan yang diberlakukan sebagaimana dikemukan sebelumnya/di atas, tidak satupun ketentuan IHR yang dapat menghalangi WHO untuk memberikan nasihat, dukungan, bantuan dalam meningkatkan kesehatan masyarakat

BAGIAN III - REKOMENDASI
Pasal 15 Rekomendasi Sementara

1. Bila sudah disepakati terjadinya PHEIC sesuai dengan Pasal 12, Direktur Jenderal harus mengeluarkan rekomendasi sementara sesuai dengan prosedur yang diatur pada Pasal 49. Rekomendasi sementara tersebut dapat diubah atau diperluas sesuai dengan keperluan, termasuk keputusan bahwa PHEIC telah berakhir. Pada saat yang sama, rekomendasi sementara lain dapat dikeluarkan sesuai dengan keperluan untuk mencegah berulangnya kejadian/KLB serupa.

2. Rekomendasi sementara dapat meliputi tindakan penanggulangan yang harus dilaksanakan oleh Negara Anggota yang mengalami PHEIC, atau oleh Negara Anggota lainnya, yang mencakup orang, bagasi, kargo, petikemas, alat angkut, barang dan/atau paket pos untuk mencegah atau mengurangi penyebaran penyakit ke negara lain dan menghindari lalu-lintas internasional dari hambatan yang tidak pada tempatnya.

3. Rekomendasi sementara dapat diakhiri sesuai dengan prosedur yang tercantum dalam Pasal 49, dan otomatis tidak berlaku tiga bulan setelah diterbitkan. Rekomendasi ini dapat diubah atau diperpanjang paling lama 3 bulan lagi. Rekomendasi sementara tidak boleh dilanjutkan setelah sidang kedua Majelis Kesehatan Sedunia di mana PHEIC tersebut dtetapkan..

Pasal 16 Rekomendasi Tetap

WHO dapat membuat rekomendasi tetap terhadap berbagai tindakan sesuai dengan Pasal 53, yang dapat diterapkan secara rutin atau berkala. Tindakan tersebut dapat diterapkan oleh Negara Anggota terhadap orang, bagasi, kargo, petikemas, alat angkut, barang dan/atau paket pos, sebagai suatu tindakan khusus dalam menghadapi faktor risiko yang sedang berlangsung, guna mencegah atau mengurangi penyebaran penyakit ke negara lain dan menghindari hambatan yang tidak semestinya pada lalu-lintas internasional. WHO, sesuai dengan Pasal 53, bila perlu dapat mengubah atau mengakhiri rekomendasi tetap tersebut .


Pasal 17 Kriteria untuk menetapkan dan mengakhiri suatu Rekomendasi

Sewaktu mengeluarkan, mengubah atau mengakhiri rekomendasi tetap atau sementara, Direktur Jenderal harus mempertimbangkan:

(a) Pandangan Negara Anggota yang terkait langsung;
(b) Nasehat dari Komite Darurat atau Komite Penelaah;
(c) Prinsip ilmiah, dan bukti ilmiah serta informasi yang tersedia;
(d) Tindakan berdasarkan penilaian risiko sesuai dengan situasi yang dihadapi, tidak terlalu membatasi lalu lintas dan perdagangan internasional, serta tindakan yang diambil adalah yang terbaik dari berbagai alternatif guna melindungi kesehatan;
(e) Metode dan standar internasional yang relevan;
(f) Kegiatan yang dilakukan oleh organisasi antar pemerintah lainnya dan lembaga internasional, dan
(g) Informasi lain yang sesuai dengan kejadian/KLB.

Menyangkut rekomendasi sementara, pertimbangan oleh Direktur Jenderal pada sub paragraf (e) dan (f) pada Pasal ini kemungkinan tidak dapat sepenuhnya diberlakukan sehubungan dengan mendesaknya situasi.


Pasal 18 Rekomendasi yang berkaitan dengan orang, bagasi, kargo, petikemas, alat angkut, barang dan paket pos

1. Berbagai rekomendasi yang mungkin dikeluarkan oleh WHO menyangkut orang adalah :

- periksa riwayat perjalanan di wilayah yang terjangkit;
- periksa dokumen kesehatan termasuk hasil pemeriksaan laboratorium;
- diperlukan pemeriksaan kesehatan;
- periksa bukti vaksinasi atau profilaksis lain;
- diperlukan vaksinasi atau profilaksis lain;
- observasi orang yang kemungkinan menderita penyakit;
- karantina atau tindakan lain bagi orang yang kemungkinan menderita penyakit;
- isolasi dan bila diperlukan pengobatan bagi mreka yang sakit;
- pelacakan kontak dari tersangka penderita atau penderita
- tolak masuknya tersangka penderita atau terjangkit;
- tolak masuknya mereka yang sehat ke daerah terjangkit dan
- laksanakan penjaringan bagi mereka yang akan pergi ke luar negeri (exit-screening) dan/atau
- lakukan pembatasan masuknya orang dari daerah terjangkit;

2. Rekomendasi yang ditetapkan WHO yang berhubungan dengan bagasi, kargo, petikemas, alat angkut, barang dan paket pos;

- periksa daftar muatan dan rutenya;
- laksanakan pemeriksaan;
- periksa bukti tindakan yang dilakukan pada saat keberangkatan atau transit untuk menghilangkan infeksi atau kontaminasi;
- lakukan tindakan terhadap bagasi, kargo, petikemas, alat angkut, barang, paket pos atau jenazah manusia untuk menghilangkan infeksi atau kontaminasi termasuk vektor dan reservoir;
- lakukan tindakan khusus untuk memastikan keamanan penanganan dan transportasi jenazah manusia;
- laksanakan isolasi atau karantina;
- sita dan hancurkan barang yang terinfeksi atau terkontaminasi atau bagasi, kargo, petikemas, alat angkut, barang dan paket pos yang dicurigai, di bawah pengawasan, sebagai upaya terakhir dan
- tolak keluar atau masuknya alat angkut.



BAGIAN IV – PINTU MASUK

Pasal 19 Kewajiban Umum

Setiap Negara Anggota wajib, di samping kewajiban lain yang telah ditentukan dalam IHR memastikan agar pelabuhan /pos lintas batas yang telah ditentukan bagi keluar masuknya lalu lintas internasional :
(a) memiliki kemampuan, seperti yang tercantum pada Lampiran-1, dikembangkan dalam jangka waktu yang ditetapkan pada paragraf 1, Pasal 5 dan paragraf 1 Pasal 13;
(b) mengidentifikasi otorita yang berkompeten dan
(c) apabila diminta dan memungkinkan, menyampaikan kepada WHO data yang berkaitan dengan adanya sumber penularan atau sumber kontaminasi termasuk vektor dan reservoir penyakit, yang dapat menyebar secara internasional.

Pasal 20 Bandara dan Pelabuhan

1. Negara Anggota harus menentukan bandar udara dan bandar laut yang harus dikembangkan kemampuannya seperti yang ditentukan pada Lampiran-1.
2. Negara Anggota harus menjamin bahwa Sertifikat Bebas Pengawasan Sanitasi Kapal (SSCEC) dan Seritifikat Pengawasan Sanitasi Kapal (SSCC) diterbitkan sesuai dengan ketentuan Pasal 39 dan contoh seperti pada Lampiran- 3.

3. Setiap Negara Anggota harus mengirimkan ke WHO daftar pelabuhan yang berwenang untuk mengeluarkan:
a. SSCC dan pemberian layanan seperti tercantum pda Lampiran- 1 dan 3, atau
b. SSCEC saja, dan
c. Perpanjangan SSCEC dalam waktu satu bulan, sampai alat angkut tiba di pelabuhan di mana SSCEC bisa diperbaharui. Setiap Negara Anggota harus memberitahu WHO setiap perubahan yang terjadi pada daftar bandara/pelabuhan yang telah disampaikan sebelumnya. WHO harus memasukkan perubahan yang diterima sesuai dengan paragraf ini pada publikasi selanjutnya.

4. WHO, atas permintaan Negara Anggota, dapat mengeluarkan sertifikat, setelah melalui penilaian tertentu yang menyatakan bahwa suatu bandara/pelabuhan di wilayahnya telah memenuhi syarat yang ditentukan pada paragraf 1 dan 3 Pasal ini. Sertifikat yang telah dikeluarkan akan ditinjau secara periodik oleh WHO, dengan sepengetahuan Negara Anggota ybs.

5. WHO, bekerja sama dengan instansi antar pemerintah yang berwenang dan lembaga internasional, harus membuat pedoman sertifikasi bagi bandar udara dan bandar laut sesuai dengan Pasal ini. WHO harus menerbitkan daftar bandar udara dan bandar laut yang sudah memperoleh sertifikat.

Pasal 21 Perlintasan Darat

1. Bila diperlukan karena alasan kesehatan masyarakat, suatu Negara Anggota dapat menetapkan perlintasan darat yang harus mempunyai kapasitas sebagaimana tercantum pada Lampiran-1, dengan mempertimbang-kan:
(a) volume dan frekuensi lalu-lintas internasional, dibandingkan dengan pintu masuk lain di Negara tersebut, dan

(b) adanya faktor risiko di wilayah di mana lalu-lintas internasional berawal, atau melalui wilayah itu, sebelum sampai di perlintasan darat tersebut.

2. Negara Anggota yang memiliki perbatasan bersama, hendaknya mempertimbangkan:
(a) membuat perjanjian atau pengaturan bilateral atau multilateral mengenai pencegahan atau pengendalian penularan penyakit pada perlintasan darat sesuai dengan Pasal-57; dan

(b) penetapan bersama perlintasan darat yang berdekatan yang memiliki kapasitas seperti tercantum pada Lampiran-1, dan paragraf-1 Pasal ini.



Pasal 22 Peran Otorita yang berkompeten

1. Otorita yang berkompeten harus:
(a) bertanggung jawab terhadap pemantauan bagasi, kargo, petikemas, alat angkut, barang, paket pos dan jenazah manusia yang berangkat dan datang dari wilayah terpapar, sedemikian rupa sehingga dapat dijamin bahwa yang disebutkan sebelumnya bebas dari infeksi atau kontaminasi, termasuk vektor dan reservoir;

(b) memastikan, sejauh mungkin, bahwa fasilitas umumpada pintu masuk dalam kondisi bersih dan bebas dari sumber infeksi atau kontaminasi, termasuk vektor penyakit dan reservoir;

(c) Bertanggung jawab terhadap pengawasan setiap kegiatan hapus tikus, hapus hama, hapus serangga atau dekontaminasi dari bagasi, kargo, petikemas, alat angkut, barang, paket pos dan jenazah manusia atau tindakan sanitasi bagi orang sesuai dengan IHR ini;

(d) memberitahu para operator alat angkut, seawal mungkin, mengenai rencana tindakan yang akan diambil. Metode yang akan digunakan pada tindakan tersebut, bila tersedia, harus diberikan secara tertulis;

(e) bertanggung jawab/mensupervisi keamanan pembuangan air atau makanan yang tercemar, limbah manusia atau hewan, air limbah dan benda lain yang terkontaminasi yang dibawa alat angkut;

(f) mengambil segala tindakan yang dimungkinkan, sesuai dengan IHR, untuk memantau dan mengawasi kapal yang membuang limbah cair, limbah padat, pemberat dan benda lain yang dapat menyebabkan penyakit dan berpotensi mencemari air di pelabuhan, sungai, kanal, selat, danau atau perairan internasional lainnya;

(g) bertanggung jawab dalam mengawasi penyedia layanan penumpang, bagasi, kargo, petikemas, alat angkut, barang, paket pos dan jenazah manusia pada pintu masuk, termasuk melakukan pemeriksaan medik bila diperlukan;

(h) memiliki rencana kontingensi dalam menghadapi kejadian/KLB luar biasa dan

(i) melapor ke Focal-Point IHR Nasional mengenai tindakan yang diambil, sesuai dengan IHR.

2. Tindakan yang direkomendasikan oleh WHO bagi para penumpang, bagasi, kargo, peti kemas, alat angkut, barang, paket pos, dan jenazah manusia yang tiba dari wilayah yang terpapar dapat diulang pada saat kedatangan, bila ada indikasi atau bukti kuat bahwa tindakan yang dilakukan pada saat keberangkatan dari daerah terpapar gagal.

3. Hapus serangga, hapus tikus, hapus hama, dekontaminasi dan tindakan sanitasi lainnya harus dilakukan sedemikian rupa untuk menghindari cedera dan ketidaknyamanan bagi orang, atau kerusakan lingkungan yang berdampak terhadap kesehatan masyarakat, atau kerusakan terhadap bagasi, kargo, petikemas, alat angkut, barang dan paket pos.

BAGIAN V - TINDAKAN UNTUK MELINDUNGI KESEHATAN MASYARAKAT

BAB I – Ketentuan Umum

Pasal 23 Tindakan pada saat kedatangan dan keberangkatan

1. Mengacu pada penerapan perjanjian internasional yang telah disepakati dan Pasal yang relevan dari IHR, Negara Anggota, untuk melindungi kesehatan masyarakatnya, pada saat kedatangan atau keberangkatan dapat mensyaratkan:
(a) yang menyangkut penumpang:
(i) informasi tentang tujuan penumpang, sehingga yang bersangkutan dapat dihubungi;
(ii) riwayat perjalanan penumpang, guna meyakinkan apakah ybs melakukan perjalanan ke atau dekat daerah terjangkit penyakit atau daerah terkontaminasi sebelum kedatangan, dan meneliti dokumen kesehatan penumpang bila disyaratkan dalam IHR; dan/atau
(iii) pemeriksaan kesehatan non-invasif yang tidak begitu mengganggu namun mencapai tujuan yang diinginkan;
(b) pemeriksaan terhadap bagasi, kargo, petikemas, alat angkut, barang, paket pos dan jenazah manusia.

2. Berdasarkan bukti adanya risiko yang dapat mengganggu kesehatan masyarakat yang diperoleh melalui tindakan yang dimuat dalam paragraf 1 Pasal ini, atau melalui cara lain, Negara Anggota dapat menerapkan tindakan tambahan sesuai dengan IHR, khususnya, dalam kaitan dengan seorang penumpang tersangka atau terjangkit penyakit, kasus demi kasus, dilakukannya pemeriksaan kesehatan dengan tingkat invasif dan gangguan minimal, guna mencegah penyebaran penyakit secara internasional;

3. Tanpa persetujuan penumpang atau orang tua atau walinya, tidak boleh dilakukan pemeriksaan kesehatan, vaksinasi, profilaksis atau tindakan penyehatan sesuai dengan IHR, kecuali disyaratkan pada paragraf 2 Pasal 31, dan sejalan dengan undang-undang dan kewajiban internasional dari Negara Anggota tersebut.

4. Para penumpang, orang tua atau walinya yang akan divaksinasi atau ditawari profilaksis sesuai dengan IHR, harus diberitahu lebih dahulu tentang risiko apabila divaksinasi atau tidak divaksinasi, risiko profilaksis atau tidak diprofilaksis, sejalan dengan undang-undang dan kewajiban internasional dari Negara bersangkutan. Negara Anggota harus memberitahu para dokter yang praktek mengenai persyaratan ini sesuai dengan undang-undang Negara tersebut.

5. Setiap pemeriksaan medik, prosedur medis, vaksinasi atau profilaksis lain yang mungkin menularkan penyakit hanya boleh dilakukan atau diberikan kepada penumpang sesuai dengan petunjuk atau standard nasional atau internasional, guna meminimalkan hal yang tidak diinginkan tersebut.

BAB II – Ketentuan khusus bagi alat angkut dan operator alat angkut

Pasal 24 Operator alat angkut

1. Negara Anggota harus mengambil semua tindakan yang memungkinkan sesuai dengan IHR untuk memastikan bahwa operator alat angkut:

(a) mematuhi tindakan yang direkomendasikan WHO dan telah disetujui oleh Negara ybs;
(b) memberitahu penumpang tentang tindakan yang direkomendasikan WHO dan disetujui oleh Negara Anggota terhadap alat angkut; dan
(c) untuk seterusnya menjaga alat angkut ysng mrnjadi tanggung jawabnya bebas dari sumber penyakit atau kontaminasi, termasuk vektor, dan reservoir. Tindakan akan diambil untuk meniadakan sumber penyakit atau kontaminasi bila ditemukan bukti adanya kedua hal tersebut.

2. Ketentuan khusus yang berhubungan dengan alat angkut dan operator alat angkut pada Pasal ini terdapat dalam Lampiran- 4. Tindakan khusus yang dilakukan pada alat angkut dan operator alat angkut yang menyangkut penyakit yang ditularkan melalui vektor, terdapat pada Lampiran- 5.

Pasal 25 Kapal dan pesawat yang sedang trransit

Sesuai dengan Pasal 27 dan 43, tindakan penyehatan tidak boleh dilakukan oleh suatu Negara Anggota, kecuali disetujui dalam perjajnjian internasional, terhadap:
(a) kapal laut yang tidak datang dari daerah terjangkit penyakit yang meliwati wilayah perairan Negara tersebut dalam perjalanannya menuju pelabuhan di negara lain. Kapal tersebut harus diiizinkan mengambil bahan bakar, air, makanan dan kebutuhan lain, di bawah pengawasan otorita yang berkompeten;

(b) kapal laut yang melintas diperairan yang menjadi bagian dari negara anggota tanpa melapor ke pelabuhan atau penjaga pantai; dan

(c) pesawat udara yang transit di suatu bandara di wilayahnya, kecuali meminta pesawat untuk berada di lokasi khusus bandara tanpa melakukan kegiatan bongkar muat. Namun demikian, pesawat tersebut harus diizinkan mengambil bahan bakar, air, makanan dan pasokan lainnya, di bawah pengawasan otorita yang berkompeten.
Pasal 26 Lori, keretapi dan bus yang transit

Berdasarkan Pasal 27 dan 43, kecuali dimungkinkan oleh suatu perjanjian internasional, tindakan tidak boleh dilakukan terhadap lori, keretapi atau bus yang tidak datang dari daerah terjangkit penyakit yang meliwati suatu wilayah tanpa melakukan kegiatan bongkar muat.

Pasal 27 Alat angkut yang terpapar faktor risiko

1. Bila dijumpai tanda atau gejala klinis dan ada informasi tentang adanya suatu faktor risiko,sumber infeksi dan kontaminasi yang ditemukan pada suatu alat angkut, maka otorita yang berkompeten harus menganggap alat angkut tersebut terpapar suatu faktor risiko dapat melakukan tindakan sbb:
(a) disinfeksi, dekontaminasi, hapus serangga, atau hapus tikus, atau meminta tindakan tersebut dilaksanakan pihak lain namun di bawah pengawasannya; dan

(b) menentukan bagi setiap tindakan tersebut metode yang menjamin tercapainya hasil seperti yang dikehendaki oleh IHR. Bila ada metode, bahan atau perlengkapan yang disarankan oleh WHO untuk melakukan tindakan ini maka hal tersebut hendaknya diterapkan kecuali kalau otorita yang berkompeten menetapkan metode lain yang tingkat keamanan dan keandalannya sama dengan yang disarankan WHO. Otorita yang berkompeten dapat melakukan tindakan tambahan bila dianggap perlu, termasuk mengisolasi alat angkut, untuk mencegah penyebaran penyakit. Tindakan tambahan ini harus dilaporkan kepada Focal-point IHR Nasional.
2. Bila otorita yang berkompeten pada pintu masuk tidak mampu melakukan tindakan sebagaimana disyaratkan IHR, maka alat angkut yang terpapar tersebut harus diizinkan berangkat, dengan persyaratan berikut:

(a) Otorita yang berkompeten, sewaktu berangkat, harus menginformasikan kepada otorita berwenang pada pintu masuk berikutnya jenis informasi yang terdapat dalam subparagraf-b; dan

(b) untuk kapal laut, bukti yang ditemukan dan tindakan yang diperlukan harus dicatat didalam SPSK. Kapal laut ini harus diizinkan mengambil bahan bakar, air, makanan dan pasokan lain di bawah pengawasan otorita yang berkompeten.

3. Alat angkut yang sebelumnya dinyatakan terpapar, harus dipulihkan statusnya, bila otorita yang berkompeten puas, bahwa :
(a) tindakan yang terdapat dalam paragraf-1 Pasal ini telah dilakukan dengan benar dan
(b) tidak dijumpai lagi adanya hal yang dapat menimbulkan risiko kesehatan di kapal laut tersebut.

Pasal 28 Kapal laut dan Pesawat udara pada saat berada di Pintu Masuk

1. Sesuai dengan pasal 43 atau mengacu pada perjanjian internasional yang ada, suatu kapal laut atau pesawat udara, tidak boleh dilarang untuk berlabuh di suatu pintu masuk dengan alasan dapat menimbulkan gangguan kesehatan. Namun, bila pintu masuk ini tidak dilengkapi peralatan untuk melaksanakan tindakan yang dibutuhkan sesuai dengan IHR , maka kapal laut atau pesawat udara tersebut dapat diperintahkan untuk menuju pintu masuk dengan risiko sendiri, kecuali kalau kapal laut atau pesawat udara tersebut mengalami masalah tehnis, sehingga membuatnya tidak aman untuk melanjutkan perjalanan.

2. Sesuai dengan Pasal 43 atau mengacu pada perjanjian internasional yang ada, maka kapal laut atau pesawat udara, harus diberi free pratique. Selanjutnya tidak boleh dicegah untuk menaikkan atau menurunkan penumpang, bongkar muat kargo , mengambil bahan bakar, air, makanan dan pasokan lainnya. Negara Anggota dapat mempertimbangkan untuk tidak memberikan free paratique, apabila ternyata setelah melakukan pemeriksaan ditemukan sumber infeksi atau kontaminasi di atas kapal, dilakukan hapus hama, dekontaminasi, hapus serangga atau hapus tikus, atau perlu dilakukannya tindakan lain guna mencegah penyebaran infeksi atau kontaminasi.

3. Bila memungkinkan dan tidak bertentangan dengan paragraf sebelumnya, suatu Negara Anggota harus memberikan fre pratique melalui radio atau melalui alat komunikasi lainnya kepada suatu kapal laut atau pesawat udara, bila, berdasarkan informasi yang diterima sebelum kedatangannya, Negara Anggota berpendapat bahwa kedatangan kapal laut atau pesawat udara tersebut tidak akan menyebarkan penyakit.
4. Nahkoda kapal laut atau pilot pesawat terbang atau agennya harus memberitahu pengawas pelabuhan atau bandara tujuan sedini mungkin sebelum kedatangan, tentang kemungkinan adanya penyakit yang mungkin menular atau adanya faktor risiko di atas kapal segera setelah mereka ketahui. Informasi ini harus segera disampaikan kepada otorita yang berkompeten di pelabuhan atau bandara tersebut. Dalam keadaan mendesak, informasi tersebut harus disampaikan langsung kepada otorita pelabuhan atau bandara yang relevan.

5. Hal berikut harus dilakukan bila suatu pesawat udara atau kapal laut yang tersangka atau terpapar suatu penyakit, yang karena sesuatu hal di luar kendali pilot atau nahkoda, terpaksa mendarat atau berlabuh di tempat lain:

(a) Pilot atau nahkoda atau orang lain yang bertugas harus segera berupaya untuk memberitahu otorita berwenang yang terdekat;
(b) Segera setelah otorita yang berkompeten diberitahu tentang pendaratan, ia dapat melakukan tindakan yang direkomendasikan WHO atau tindakan lain yang sesuai dengan IHR
(c) apabila diperlukan untuk keperluan darurat atau untuk berkomunikasi dengan otorita yang berkompeten, para penumpang tidak diperbolehkan meninggalkan tempat pendaratan/berlabuh. Demikian pula halnya dengan kargo, kecuali diizinkan oleh otorita yang berkompeten; dan
(d) Bila semua tindakan yang disyaratkan oleh otorita yang berkompeten telah selesai, pesawat udara atau kapal laut dapat melanjutkan perjalanan ke tempat tujuannya. Apabila karena alasan teknis ia tidak dapat melakukannya, ia melanjutkan ke bandara atau pelabuhan yang dapat dicapai dengan mudah.

6. Meski berbagai ketentuan telah ditetapkan pada Pasal ini, nahkoda atau pilot dapat mengambil tindakan darurat yang diperlukan bagi keamanan dan kesehatan para penumpang. Ia harus memberitahu otorita yang berkompeten secepat mungkin, setiap tindakan yang telah diambil sesuai dengan paragraf ini.

Pasal 29 Lori, keretapi dan bus di pintu masuk

WHO, setelah berkonsultasi dengan Negara Anggota, harus mengembangkan pedoman bagi berbagai tindakan di bidang kesehatan terhadap lori, keretapi dan bus di pintu masuk dan tempat perlintasan darat.

BAB III – Ketentuan khusus bagi penumpang

Pasal 30 Penumpang yang sedang diobservasi

Sesuai dengan Pasal 43 atau yang diperkenankan oleh perjanjian internasional terkait, seorang penumpang yang dicurigai menderita penyakit yang sewaktu datang sedang dalam status observasi, dapat melanjutkan perjalanannya ke negara lain, bila ia diyakini tidak akan menyebarkan penyakit dan Negara Anggota memeberitahu otorita yang berkompeten di pintu masuk negara tujuan, bila diketahui, tanggal kedatangan penumpang tersebut. Begitu tiba, penumpang tersebut harus melapor kepada otorita tersebut.

Pasal 31 Tindakan yang berhubungan dengan masuknya penumpang

1. Pemeriksaan medik yang invasif, vaksinasi atau profilaksis lainnya, tidak boleh dijadikan syarat masuk bagi setiap penumpang ke wilayah suatu Negara Anggota, kecuali, sesuai dengan Pasal 32, 42 dan 45, IHR, tidak menghalangi Negara Anggota guna melakukan pemeriksaan medik, vaksinasi atau profilaksis lainnya atau menunjukkan bukti vaksinasi atau profilaksis lainnya:
(a) bila diperlukan untuk menentukan ada tidaknya faktor risiko.
(b) sebagai suatu persyaratan masuk bagi setiap penumpang yang akan tinggal sementara atau tetap;
(c) sebagai suatu persyaratan masuk bagi setiap penumpang sesuai dengan Pasal 43 atau Lampiran- 6 dan 7; atau
(d) dilaksanakan sesuai dengan Pasal 23.

2. Bila suatu Negara mensyaratkan pemeriksaan medik, vaksinasi atau profilaksis lain sesuai dengan paragraf-1 Pasal ini kepada seorang penumpang yang tidak menyetujui suatu tindakan atau menolak memberikan informasi atau dokumen sebagaimana dimaksud pada paragraf 1 (a) Pasal 23, maka Negara tersebut , sesuai dengan Pasal 32, 42 dan 45 dapat menolak masuknya penumpang tersebut. Bila ada bukti akan adanya faktor risiko yang dapat mengancam kesehatan masyarakat, Negara tersebut dapat, sesuai dengan undang-undang Negara-nya dan ketentuan yang diperlukan untuk mengendalikan risiko tersebut, memaksa penumpang tersebut menjalani atau menyarankan penumpang tersebut, sesuai dengan paragraf-3 Pasal-23, untuk menjalani:

(a) pemeriksaan Medik yang paling tidak invasif dan mengganggu, yang dapat mencapai tujuan yang dikehendaki; atau
(b) vaksinasi atau profilaksis lain, atau
(c) tindakan tambahan tertentu,yang dapat mencegah atau mengendalikan penyebaran penyakit, termasuk isolasi, karantina, atau dalam status observasi.


Pasal 32 Perlakuan terhadap penumpang

Dalam pelaksanaan tindakan yang sesuai dengan IHR, Negara Anggota harus menghormati martabat, hak asasi manusia dan kebebasan dasar, dan meminimalkan setiap tindakan yang tidak nyaman atau menyusahkan, yang terkait dengan tindakan tersebut, termasuk:
(a) memperlakukan semua penumpang dengan sopan dan rasa hormat;
(b) mempertimbangkan aspek jender, sosial budaya, etnis atau agama penumpang; dan
(c) menyediakan atau membantu menyediakan makanan dan air yang mencukupi, akomodasi dan pakaian yang memadai, perlindungan terhadap bagasi dan barang lain miliknya, pengobatan medis yang tepat, alat komunikasi yang diperlukan, bila mungkin dalam bahasa mereka, dan bantuan lain yang dibutuhkan bagi penumpang yang dikarantina, diisolasi atau yang harus menjalani pemeriksaan kesehatan atau prosedur lain untuk kepentingan kesehatan masyarakat.

BAB IV – Ketentuan khusus bagi barang,
petikemas dan wilayah untuk memuat petikemas
Pasal 33 Barang dalam Transit

Sesuai dengan Pasal 43 atau bila diperbolehkan oleh perjanjian internasional yang berlaku, barang, selain hewan hidup, sewaktu transit tanpa pergantian kapal, tidak boleh dilakukan tindakan yang diatur dalam IHR, atau ditahan untuk kepentingan kesehatan masyarakat,.

Pasal 34 Petikemas dan wilayah untuk memuat petikemas
1. Negara Anggota harus menjamin, sejauh mungkin, agar para pengirim petikemas menggunakan peti kemas yang bebas dari sumber infeksi atau kontaminasi, termasuk vektor dan reservoir, khususnya selama proses pengemasan.

2. Negara Anggota harus menjamin, sejauh mungkin, agar wilayah untuk memuat petikemas dijaga bebas dari sumber infeksi atau kontaminasi, termasuk vektor dan reservoir.

3. Bila, menurut pendapat Negara Anggota, volume petikemas dalam lalu-lintas internasional cukup besar, maka otorita yang berkompeten harus mengambil seluruh tindakan sesuai dengan IHR ini, termasuk melakukan pemeriksaan, menilai kondisi sanitasi dari wilayah tempat memuat petikemas dan petikemasnya, guna memastikan bahwa kewajiban yang termuat dalam IHR dilaksanakan.

4. Fasilitas bagi pemeriksaan dan isolasi petikemas harus, sejauh mungkin, tersedia di wilayah tempat me muat petikemas.
5. Penerima dan pengirim petikemas harus melakukan segala upaya untuk mencegah kontaminasi silang akibat digunakannya alat muat petikemas yang multi guna

BAGIAN V I- DOKUMEN KESEHATAN

Pasal 35 Ketentuan Umum

Tidak ada dokumen kesehatan, selain yang ditentukan dalam IHR atau yang direkomendasikan WHO, yang diperlukan dalam lalu-lintas internasional, kecuali bagi mereka yang akan menetap sementara atau seterusnya.Ketentuan serupa berlaku pula bagi barang atau kargo yang diperdagangkan sesuai dengan perjanjian internasional yang telah berlaku. Otorita yang berkompeten dapat meminta penumpang untuk mengisi formulir di mana yang bersangkutan dapat dihubungi dan kwesioner tentang kesehatannya, selama mereka memenuhi persyaratan Pasal-23.
Pasal 36 Sertifikat vaksinasi atau profilaksis lainnya

1. Sertifikat vaksinasi dan profilaksis lainnya yang diberikan kepada penumpang sesuai dengan IHR atau rekomendasi dan sertifikat yang terkait dengan hal tersebut, harus sesuai dengan ketentuan didalam Lampiran- 6 dan bila diperlukan, dengan Lampiran-7 yang diperuntukkan bagi penyakit khusus.
2. Seorang penumpang yang memiliki sertifikat vaksinasi atau profilaksis lainnya yang dikeluarkan sesuai dengan Lampiran-6 atau Lampiran- 7, tidak boleh ditolak masuk, sebagai konsekwensi dari penyakit yang dinyatakan dalam sertifikat tersebut, meskipun datang dari daerah terjangkit penyakit, kecuali kalau otorita yang berkompeten telah menemukan indikasi dan/atau bukti bahwa vaksinasi atau profilaksis lainnya yang telah diperoleh oleh yang bersangkutan tidak efektif.

Pasal 37 Maritime Declaration of Health

1. Nakhoda kapal sebelum berlabuh pada pelabuhan pertama dalam wilayah suatu Negara harus memastikan status kesehatan kapal, dan, kecuali bila Negara Anggota tidak mensyaratkannya, nakhoda begitu datang atau sebelum kapal datang bila kapal dilengkapi peralatan untuk keperluan ini dan Negara yang bersangkutan mensyaratkan hal ini, MDH diisi dengan lengkap dan ditandatangani oleh dokter kapal, bila ada untuk diberikan kepada otorita yang berkompeten.
2. Nahkoda atau dokter kapal, bila ada, harus memberikan setiap informasi yang diperlukan menyangkut kondisi kesehatan kapal selama perjalanan,yang diminta oleh otorita yang berkompeten.
3. MDH harus mengikuti contoh yang terdapat pada Lampiran- 8.
4. Negara Anggota dapat memutuskan:
(a) tidak diperlukannya MDH bagi semua kapal yang datang; atau
(b) mensyaratkan penyerahan MDH berdasarkan suatu rekomendasi terhadap kapal yang datang dari daerah terjangkit penyakit atau dari kemungkinan kapal membawa penyakit atau terkontaminasi. Negara Anggota harus menginformasikan persyaratan ini kepada operator kapal atau agennya.

Pasal 38 Bagian Kesehatan dari General Declaration Pesawat Udara

1. Pilot atau perusahaan yang mempekerjakannya, selama penerbangan atau sewaktu mendarat di bandara pertama di wilayah suatu Negara Anggota, harus, sedapat mungkin, kecuali bila Negara Anggota tersebut tidak memerlukannya, untuk mengisi secara lengkap dan menyerahkan Bagian kesehatan Gendec kepada otorita yang berkompeten di bandara tersebut, sesuai dengan contoh yang terdapat dalam Lampiran-9.

2. Pilot atau perusahaan yang mempekerjakannya harus memberikan setiap informasi yang diperlukan oleh Negara Anggota mengenai kondisi kesehatan di pesawat selama perjalanan dan setiap tindakan yang dilakukan pada pesawat.

3. Suatu Negara Anggota dapat memutuskan:

(a) tidak mengharuskan penyerahan Gendec yang menyangkut kesehatan terhadap semua pesawat yang datang, atau
(b) mensyaratkan penyerahan bagian kesehatan dari Gendec berdasarkan rekomendasi bagi pesawat yang datang dari daerah terjangkit penyakit atau mensyaratkannya bagi pesawat yang mungkin membawa penyakit atau kontaminasi. Negara Anggota harus menginformasikan persyaratan ini kepada operator pesawat atau agennya.

Pasal 39 Sertifikat sanitasi kapal

1. Sertifikat Bebas Pengawasan Sanitasi Kapal SSCEC dan Setifikat Pengawasan Sanitasi Kapal SSCC berlaku paling lama enam bulan. Jangka waktu ini bisa diperpanjang selama satu bulan bila pemeriksaan atau tindakan yang diperlukan tidak dapat dilakukan pada pelabuhan tersebut.
2. Tanpa memiliki SSCEC atau SSCC yang masih berlaku tidak berhasil atau ditemukan faktor risiko di atas kapal, Negara Anggota dapat melakukan tindakan sesuai dengan paragraf-1 Pasal-27.
3. Sertifikat sebagaimana tertera di dalam Pasal ini harus sesuai dengan contoh pada Lampiran- 3.
4. Bila memungkinkan, tindakan harus dilakukan sewaktu kapal dan palkanya kosong. Dalam hal kapal berada dalam keadaan stabil, tindakan ini bisa dilaksanakan sebelum kargo dan barang dimuat.
5. Bila diperlukan tindakan dan telah dilaksanakan dengan memuaskan, otorita yang berkompeten harus mengeluarkan SSCC, berisi bukti yang ditemukan dan tindakan yang diambil
6. Otorita yang berkompeten dapat mengeluarkan SSCEC di setiap pelabuhan sesuai dengan Pasal 20, bila telah terbukti bahwa kapal tersebut bebas dari penyakit dan kontaminasi, termasuk vektor dan reservoir. Sertifikat tersebut biasanya dikeluarkan apabila pemeriksaan dilakukan pada saat kapal dalam keadaan kosong atau pada saat ia bermuatan pemberat atau bahan lainnya, sehingga pemeriksaan dapat dilakukan secara menyeluruh.
7. Apabila menurut otorita yang berkompeten tidak memungkinkan untuk mengambil tindakan dengan hasil yang memuaskan, maka hal tersebut harus dicatat pada SSCC nya.


BAGIAN VII – BIAYA YANG DIKENAKAN

Pasal 40 Biaya tindakan terhadap penumpang

1. Kecuali bagi penumpang yang akan tinggal sementara atau tetap, dan sesuai dengan paragraf -2 Pasal ini, tidak boleh ada biaya yang dipungut oleh Negara anggota sesuai dengan IHR, bagi tindakan kesehatan masyarakat berikut ini:
(a) pemeriksaan medik yang diberikan sesuai dengan IHR atau setiap pemeriksaan tambahan yang disyaratkan oleh Negara anggota untuk memastikan status kesehatan penumpang yang diperiksa tersebut;
(b) vaksinasi atau profilaksis lainnya yang diberikan kepada seorang penumpang saat kedatangan yang tidak menjadi persyaratan secara tertulis atau persyaratan tertulis yang diterbitkan kurang dari 10 hari sebelum vaksinasi atau profilaksis lainnya dilaksanakan;
(c) Isolasi dan karantina yang memadai yang harus dijalani penumpang;
(d) sertifikat yang dikeluarkan kepada penumpang, yang memuat tanggal tindakan yang telah dilakukan; atau
(e) tindakan yang dilakukan pada bagasi yang dibawa penumpang.

2. Negara Anggota dapat memungut biaya untuk tindakan selain yang tercantum dalam paragraf-1 Pasal ini, termasuk hal yang utamanya menguntungkan bagi penumpang.

3. Apabila tindakan kepada penumpang sesuai dengan IHR dikenakan biaya, di masing-masing Negara Anggota harus berlaku satu tarif dan setiap biaya yang dikenakan harus:
(a) sesuai dengan tarif ini;
(b) tidak melebihi biaya dari layanan yang diberikan; dan
(c) dikenakan tanpa membedakan kewarganegaraan, atau tempat tinggal dari penumpang tersebut;

4. tarif, dan setiap perubahannya, harus diterbitkan sekurang-kurangnya 10 hari sebelum pemberlakuannya.
5. IHR tidak menghalangi Negara Anggota untuk meminta pembayaran atas pengeluaran bagi tindakan dalam paragraf-1 Pasal ini:

(a) dari operator atau pemilik alat angkut bagi karyawannya yang bepergian; atau
(b) dari asuransi penumpang.

6. Tidak dibenarkan sama sekali adanya larangan berangkat bagi penumpang atau operator alat angkut dari wilayah negara anggota yang menunggak pembayaran biaya sebagaimana tercantum pada paragraf-1 atau 2 Pasal ini.
Pasal 41 Biaya untuk bagasi, kargo, petikemas, alat angkut, barang atau paket pos
1. Apabila dipungut biaya untuk melakukan tindakan terhadap bagasi, kargo, petikemas, alat angkut, barang atau paket pos sesuai dengan IHR, setiap Negara Anggota diharuskan hanya memiliki satu tarif untuk biaya tersebut dan setiap biaya harus:
(a) sesuai dengan tarif yang berlaku;
(b) biaya tidak melebihi biaya yang dibutuhkan bagi layanan tersebut; dan
(c) dikenakan tanpa membedakan kewarganegaraan, bendera, kepemilikan bagasi, kargo, petikemas, alat angkut, barang atau paket pos. Khususnya, tidak ada perbedaan tarif bagi bagasi, kargo, petikemas, alat angkut, barang atau paket pos milik nasional dan asing.
2. Tarif, dan setiap perubahannya, harus diberitahukan sekurang-kurangnya sepuluh hari sebelum diberlakukan.


BAGIAN VIII – KETENTUAN UMUM

Pasal 42 Pelaksanaan tindakan

Tindakan yang diambil sesuai dengan IHR harus dimulai dan diselesaikan sesegera mungkin, dan dilakukan secara transparan tanpa diskriminasi.

Pasal 43 Tindakan tambahan

1. IHR tidak boleh menghalangi Negara anggota untuk melaksanakan tindakan, sesuai dengan undang-undang dan kewajiban internasionalnya, sebagai respons terhadap PHEIC, yang:
(a) menghasilkan tingkat perlindungan kesehatan yang sama atau lebih besar dibanding rekomendasi WHO; atau
(b) tidak dilarang dalam Pasal 25, Pasal 26, paragraf 1 dan 2 Pasal 28, Pasal 30, paragraf 1 (c) Pasal 31 dan Pasal 33, dan tindakan tersebut sesuai dengan IHR. Tindakan tersebut tidak boleh membatasi lalu-lintas internasional dan tidak lebih invasif atau mengganggu orang ketimbang alternatif lain yang menghasilkan tingkat perlindungan kesehatan yang memadai.
2. Dalam memutuskan apakah akan melaksanakan tindakan sesuai dengan paragraf-1 Pasal ini atau tindakan penyehatan tambahan pada paragraf-2 Pasal 23, paragraf-1 Pasal 27, paragraf-2 Pasal-28 dan paragraf 2(c) Pasal-31, Negara Anggota harus mendasarkan keputusannya atas:
(a) kaidah ilmiah;
(b) bukti ilmiah pengaruh suatu risiko terhadap kesehatan masyarakat, atau bila bukti tersebut tidak mencukupi, berdasarkan informasi yang tersedia termasuk dari WHO dan organisasi antar pemerintah dan lembaga internasional lainnya; dan
(c) setiap petunjuk khusus atau anjuran dari WHO.
3. suatu negara yang melaksanakan tindakan tambahan sesuai dengan paragraf 1 Pasal ini, yang secara bermakna menghambat lalu-lintas internasional, harus memberitahu WHO alasan yang rasional dan dasar ilmiahnya. WHO harus menyebarkan informasi ini kepada Negara anggota lainnya mengenai tindakan yang dilakukan oleh negara tersebut. Yang termasuk hambatan bermakna pada umumnya adalah penolakan masuk atau berangkat penumpang internasional, bagasi, kargo, petikemas, alat angkut, barang, dan sejenisnya, atau penangguhannya selama lebih dari 24 jam..
4. Setelah menilai informasi yang diberikan sesuai dengan paragraf 3 dan 5 Pasal ini dan informasi terkait lainnya, WHO dapat meminta Negara anggota untuk mempertimbangkan kembali penerapan tindakan tersebut.
5. Suatu Negara Anggota yang melaksanakan tindakan tambahan sesuai dengan paragraf 1 dan 2 Pasal ini yang secara bermakna menghambat lalu-lintas internasional, harus memberitahukan kepada WHO dalam waktu 48 jam setelah pelaksanaan tindakaan tersebut dan alasannya, kecuali kalau hal ini telah dinyatakan dalam rekomendasi tetap atau rekomendasi sementara.
6. Suatu Negara Anggota yang melaksanakan tindakan sesuai dengan dengan paragraf 1 atau 2 Pasal ini, dalam waktu tiga bulan harus meninjau tindakan tgersebut dengan mempertimbangkan anjuran WHO dan kriteria pada paragraf 2 Pasal ini.
7. Tanpa prasangka akan haknya dalam Pasal 56, setiap Negara anggota yang terkena dampak dari tindakan yang diambil sesuai dengan paragraf 1 atau 2 Pasal ini, dapat meminta Negara anggota yang melaksanakan tindakan tersebut untuk berkonsultasi dengannya. Tujuan konsultasi adalah untuk mengklarifikasi dasar ilmiah dan alasan kesehatan masyarakat yang melatarbelakangi tindakan tersebut serta untuk menemukan jalan keluar yang bisa diterima bersama.
8. Ketentuan pada Pasal ini berlaku dalam pelaksanaan tindakan kepada para penumpang yang bepergian dalam kelompok yang besar.

Pasal 44 Kerjasama dan Bantuan

1. Negara anggota sejauh mungkin harus bekerjasama dalam:
(a) penemuan, penilaian dan respons terhadap berbagai kejadian/KLB sebagaimana diatur di dalam IHR;
(b) Penyediaan atau fasilitasi bagi kerjasama teknis dan dukungan logistik, khususnya terhadap pengembangan, penguatan dan pemeliharaan kapasitas di bidang kesehatan masyarakat yang dibutuhkan sesuai dengan IHR:;
(c) Mobilisasi dana untuk kelancaran pelaksanaan kewajibannya sesuai dengan IHR ; dan
(d) Penyusunan undang-undang yang diusulkan dan peraturan pelaksanaannya guna penerapan IHR .

2. WHO atas permintaan Negara Anggota, harus bekerjasama sejauh mungkin dalam:
(a) evaluasi dan asesmen kapasitas di bidang kesehatan masyarakat untuk memfasilitasi pelaksanaan IHR secara efektif;
(b) Penyediaan atau fasilitasi kerjasama teknis dan dukungan logsitik kepada Negara Anggota; dan
(c) Mobilisasi dana untuk mendukung Negara berkembang dalam membangun, memperkuat dan memelihara kapasitas sesuai dengan Lampiran- 1.

3. Kerjasama yang menyangkut Pasal ini dapat dilaksanakan melalui berbagai cara seperti secara bilateral, jejaring regional dan kantor regional WHO, serta melalui organisasi antar pemerintah dan lembaga internasional.

Pasal 45 Perlakuan terhadap data pribadi

1. Informasi kesehatan yang dikumpulkan atau diterima oleh Negara Anggota sesuai dengan IHR, yang berasal dari Negara lain atau dari WHO, yang berkaitan dengan identitas seseorang, harus dijaga kerahasiaannya dan diproses tanpa nama seperti yang ditentukan oleh undang-undang Negara tersebut.

2. Meski ada ketentuan yang harus merahasiakan data pribadi dalam paragraf 1, Negara yang bersangkutan dapat mengumumkan dan memproses data sesorang guna menilai dan mengelola risiko terhadap kesehatan masyarakat. Namun demikian Negara Anggota, sesuai dengan undang-undangnya dan WHO harus memastikan bahwa data pribadi tersebut:
(a) diproses secara adil dan menurut hukum, dan tidak diproses lebih lanjut bila tidak sesuai dengan maksud semula;
(b) mencukupi, relevan dan tidak berlebihan;
(c) akurat dan di mana perlu, dimutakhirkan; setiap langkah harus diambil untuk memastikan bahwa data yang tidak akurat atau tidak lengkap dihapus atau diperbaiki; dan
(d) disimpan tidak lebih lama dari yang diperlukan.

3. Atas permintaan, WHO sejauh memungkinkan, secepatnya memberikan kepada seseorang data pribadinya sesuai dengan Pasal ini dalam format yang dapat dimengerti tanpa membebani biaya yang tidak-tidak dan bila perlu dapat diperbaiki.

Pasal 46 Pengangkutan dan penanganan bahan biologis, reagen dan bahan untuk keperluan diagnostik

Negara Anggota harus, berdasarkan undang-undang yang berlaku di negaranya dan mempertimbangkan pedoman internasional terkait, memfasilitasi pengangkutan, masuk, keluar, pemeriksaan dan pembuangan bahan biologis dan spesimen untuk diagnosis, reagen serta bahan diagnostik lainnya untuk keperluan verifikasi dan respons di bidang kesehatan masyarakat sesuai dengan ketentuan IHR.


BAGIAN IX – DAFTAR NAMA PARA AHLI IHR, KOMITE KEDARURATAN DAN KOMITE PENELAAH

Bab I – Daftar Nama Para Ahli IHR

Pasal 47 Komposisi

Direktur Jenderal harus membuat daftar nama ahli di berbagai bidang keahlian yang terkait dengan IHR (selanjutnya disebut dengan “Expert-Roster IHR”). Direktur Jenderal harus menunjuk para anggota dari Expert-Roster IHR sesuai dengan peraturan yang telah digunakan WHO dalam penunjukkan anggota Experts Advisory Panels and Committee (selanjutnya disebut WHO Advisory Panel Regulations), kecuali ditentukan lain dalam IHR. Direktur Jenderal harus menunjuk satu anggota atas permintaan setiap Negara Anggota dan, bila diperlukan, para ahli yang diajukan oleh organisasi antar pemerintah dan organisasi ekonomi regional yang terkait. Negara yang berkepentingan harus memberitahu Direktur Jenderal kualifikasi dan bidang keahlian dari masing-masing ahli yang mereka ajukan. Direktur Jenderal harus secara periodik memberitahu semua Negara Anggota, dan lembaga antar pemerintah serta organisasi ekonomi regional yang terkait, komposisi dari para ahli IHR.


Bab II – Komite Kedaruratan

Pasal 48 Kerangka Acuan dan komposisi

1. Direktur Jenderal harus membentuk Komite Kedaruratan yang atas permintaan Direktur Jenderal harus memberikan pandangannya mengenai:
(a) apakah suatu kejadian/KLB merupakan PHEIC atau bukan;
(b) pencabutan suatu PHEIC; dan

(c) usul penerbitan, modifikasi, perluasan atau pencabutan rekomendasi sementara..
2. Komite Kedaruratan harus terdiri dari ahli yang sudah diseleksi oleh Direktur Jenderal dari Daftar Ahli IHR, dan bila perlu, dari panel ahli WHO lainnya. Direktur Jenderal harus menetapkan jangka waktu keanggotaan Komite Kedaruratan untuk kelanjutan pemberi pertimbangan dari setiap kejadian/KLB khusus dan konsekuensinya. Direktur Jenderal harus memilih para anggota komite berdasarkan keahlian dan pengalaman yang diperlukan untuk setiap masalah dan dengan mempertimbangkan keseimbangan geografis. Sekurang-kurangnya satu anggota Komite Kedaruratan harus berasal dari negara di mana kejadian/KLB tersebut muncul.
3. Direktur Jendral dapat, atas inisiatifnya sendiri atau atas permintaan komite kearuratan, menunjuk satu atau lebih pakar untuk membantu komite.

Pasal 49 Prosedur

1. Direktur Jenderal harus melaksanakan pertemuan Komite Kedaruratan dengan memilih sejumlah ahli sebagaimana disyaratkan pada paragraf 2 Pasal 48, sesuai dengan bidang keahlian dan pengalaman yang dimilikinya yang berkaitan dengan suatu kejadian/KLB yang dihadapi. Pertemuan Komite Kedaruratan dapat berupa telekonferensi, videokonferensi atau komunikasi elektronik.
2. Direktur Jenderal harus memberikan kepada Komite Kedaruratan agenda dan informasi yang terkait dengan kejadian/KLB yang akan dibahas, termasuk informasi yang diberikan oleh Negara Anggota, dan rekomendasi sementara yang diusulkan Direktur Jenderal untuk diterbitkan.
3. Komite Kedaruratan harus memilih seorang ketua dan membuat laporan singkat sehabis pertemuan. Laporan mencakup jalannya pertemuan pertimbangannya, termasuk rekomendasi yang dianjurkan.
4. Direktur Jenderal harus mengundang Negara Anggota di mana suatu kejadian/KLB berasal, untuk memberikan pandangannya kepada Komite Kedaruratan. Untuk itu, Direktur Jenderal harus memberitahu tanggal dan agenda pertemuan dengan Komite Kedaruratan seawal mungkin. Perlu ditekankan bahwa Negara Anggota tersebut tidak diperkenankan untuk menunda pertemuan Komite Kedaruratan di mana negara ybs akan memberikan pandangannya.
5. Komite Kedaruratan harus menyampaikan pandangannya kepada Direktur Jenderal untuk bahan pertimbangan. Keputusan akhir ada pada Direktur Jenderal.
6. Direktur Jenderal harus berkomunikasi dengan Negara Anggota mengenai penetapan dan pencabutan PHEIC tersebut, tindakan yang diambil oleh Negara Anggota tersebut, rekomendasi sementara, dan perubahan, perluasan dan pencabutan dari rekomendasi tersebut, bersama pandangan dari Komite Kedaruratan. Direktur Jenderal harus memberitahu operator alat angkut melalui Negara Anggota dan badan internasional terkait mengenai rekomendasi sementara, termasuk perubahan, perluasan atau pencabutannya. Direktur Jenderal selanjutnya menyebarluaskan informasi dan rekomendasi tersebut kepada masyarakat umum.
7. Negara Anggota yang diwilayahnya muncul PHEIC dapat mengusulkan kepada Direktur Jenderal pencabutan PHEIC dan/atau rekomendasi sementara, dan dapat membuat suatu presentasi tentang alasan dari permintaannya di depan Komite Kdaruratan.

Bab III – Komite Penelaah

Pasal 50 Kerangka Acuan dan komposisi

1. Direktur Jenderal harus membentuk Komite Penelaah, yang berfungsi sebagai berikut:
(a) membuat rekomendasi teknis kepada Direktur Jenderal mengenai perubahan IHR ;
(b) memberikan anjuran teknis kepada Direktur Jenderal dengan memperhatikan rekomendasi tetap, dan setiap perubahan atau pencabutannya;
(c) memberikan anjuran teknis kepada Direktur Jenderal mengenai berbagai hal yang dimintakan oleh Direktur Jenderal mengenai memfungsikan IHR ini.
2. Komite Penelaah adalah suatu Komite Ahli di mana semua peraturan Panel Penasihat WHO berlaku baginya, kecuali ditentukan lain dalam Pasal ini.
3. Para anggota Komite Penelaah harus diseleksi dan diangkat oleh Direktur Jenderal dari daftar Para ahli IHR, dan bila diperlukan, dari panel penasihat ahli WHO lainnya.
4. Direktur Jenderal harus menentukan jumlah negara anggota yang akan diundang ke pertemuan Komite Penelaah dan menetapkan tanggal serta lamanya pertemuan Komite.
5. Direktur Jenderal mengangkat para anggota Komite Penelaah hanya untuk satu masa persidangan.
6. Direktur Jenderal harus memilih para anggota Komite Penelaah berdasarkan prinsip keseimbangan geografis, jender, negara maju dan negara berkembang serta keanekaragaman pendapat ilmiah, pendekatan dan pengalaman praktis di berbagai belahan dunia, dan keseimbangan antar ilmu yang memadai.

Pasal 51 Aturan persidangan

1. Keputusan Komite Penelaah harus diambil berdasarkan mayoritas para anggota yang hadir dan melalui pemungutan suara.
2. Direktur Jenderal harus mengundang para Negara Anggota WHO, badan PBB dan lembaga yang berstatus khusus (disebut “specialized agencies”), dan organisasi antar pemerintah lain yang terkait atau organisasi non pemerintah yang mempunyai hubungan resmi dengan WHO untuk menunjuk wakilnya guna menghadiri sidang Komite. Wakil tersebut dapat menyampaikan memoranda, dan atas izin Ketua sidang, membuat pernyataan tentang topik yang dibahas. Mereka tidak mempunyai hak dalam pemungutan suara.

Pasal 52 Pelaporan

1. Untuk setiap sidang, Komite Penelaah harus membuat laporan mengenai pandangan dan anjuran Komite. Laporan ini harus disetujui oleh Komite Penelaah sebelum sidang berakhir. Pandangan dan pertimbangannya tidak harus mengikat Organisasi dan harus dirumuskan sebagai anjuran kepada Direktur Jenderal. Isi laporan tidak boleh diubah tanpa persetujuan Komite.
2. Bila Komite Penelaah tidak satu suara dalam temuannya, setiap anggota berhak untuk menyatakan pandangan yang berbeda sebagai laporan perorangan atau kelompok, yang harus mengutarakan alasan mengapa beragam pendapat diperkenankan, dan harus menjadi bagian dari lapora Komite.
3. Laporan Komite Penelaah harus disampaikan kepada Direktur Jenderal, yang selanjutnya harus menyampaikan pandangan dan anjurannya kepada Majelis Umum Kesehatan Sedunia/WHA atau Dewan Eksekutif untuk dipertimbangkan dan ditindaklanjuti.

Pasal 53 Prosedur untuk Rekomendasi Tetap

Bila Direktur Jenderal mempertimbangkan bahwa suatu rekomendasi tetap diperlukan dan cocok bagi suatu risiko di bidang kesehatan masyarakat, Direktur Jenderal harus meminta pandangan Komite Penelaah. Selain paragraf terkait pada Pasal 50 sampai 52, berlaku ketentuan berikut:

(a) Usulan bagi rekomendasi tetap, perubahan atau pencabutannya dapat diajukan kepada Komite Penelaah oleh Direktur Jenderal atau oleh Negara Anggota melalui Direktur Jenderal;
(b) Setiap Negara dapat mennyampaikan informasi yang berkaitan sebagai bahan pertimbangan bagi Komite Penelaah;
(c) Direktur Jenderal dapat meminta setiap Negara Anggota, instansi antar pemerintah atau organisasi non pemerintah yang mempunyai hubungan resmi dengan WHO, untuk menyampaikan pada Komite Penelaah, informasi yang dimiliki untuk usulan rekomendasi tetap, yang telah disetujui oleh Komite Penelaah;
(d) Direktur Jenderal dapat, atas permintaan Komite Penelaah atau atas inisiatifnya sendiri, menunjuk satu atau lebih pakar untuk membantu Komite Penelaah. Pakar tidak mempunyai hak dalam pemungutan suara;
(e) Setiap laporan yang berisikan pandangan dan anjuran dari Komite Penelaah yang menyangkut rekomendasi tetap harus disampaikan kepada Direktur Jenderal sebagai bahan pertimbangan dan keputusan. Direktur Jenderal harus menyampaikan pandangan dan anjuran dari Komite Penelaah kepada Majelis Kesehatan;
(f) Direktur Jenderal harus memberitahu semua Negara Anggota setiap rekomendasi tetap, dan perubahan atau pencabutan rekomendasi tersebut, bersama pandangan Komite Penelaah;
(g) Rekomendasi tetap harus diajukan oleh Direktur Jenderal ke sidang Majelis Kesehatan berikutnya sebagai bahan pertimbangan.
BAGIAN X – KETENTUAN AKHIR

Pasal 54 Pelaporan dan peninjauan kembali

1. Negara anggota dan Direktur Jenderal harus melaporkan kepada Majelis Kesehatan mengenai pelaksanaan IHR ini sebagaimana yang telah diputuskan oleh Majelis Kesehatan.
2. Majelis Kesehatan secara periodik harus meninjau pelaksanaan IHR. Untuk ini Majelis Kesehatan dapat meminta anjuran dari Komite Penelaah, melalui Direktur Jenderal. Tinjauan pertama harus dilakukan tidak lebih dari lima tahun setelah diberlakukannya IHR.
3. WHO secara periodik harus mengkaji dan mengevaluasi kegunaan Lampiran- 2. Kajian pertama harus dimulai tidak lebih dari satu tahun setelah berlakunya IHR. Hasil kajian harus disampaikan kepada Majelis Kesehatan untuk bahan pertimbangan, seperlunya

Pasal 55 Perubahan

1. Perubahan pada IHR dapat diusulkan oleh setiap Negara anggota atau oleh Direktur Jenderal. Usulan perubahan tersebut harus diserahkan kepada Majelis Kesehatan untuk dipertimbangkan.

2. Teks dari setiap usulan perubahan harus dikirimkan kepada seluruh Negara Anggota oleh Direktur Jenderal sekurang-kurangnya empat bulan sebelum diajukan ke Majelis Kesehatan yang selanjutnya akan memberikan pertimbangan.

3. Perubahan pada IHR yang telah disyahkan oleh Majelis Kesehatan sesuai dengan yang ditetapkan pada Pasal ini harus berlaku tanpa kecuali bagi seluruh Negara, dengan hak dan kewajiban yang sama, sesuai dengan Pasal 22 konstitusi WHO dan Pasal 59 sampai 64 IHR.

Pasal 56 Penyelesaian Perselisihan

1. Apabila terjadi perselisihan diantara dua atau lebih Negara Anggota dalam penafsiran atau penerapan IHR, Negara -Negara Anggota tersebut pertama tama harus mencari cara untuk menyelesaikan perselisihan tersebut melalui perundingan atau cara damai lain yang mereka pilih sendiri, termasuk mediasi. Kegagalan untuk mencapai kesepakatan tidak akan membebaskan mereka dari tanggung jawab untuk terus mencari penyelesaiannya.
2. Dalam hal perselisihan tidak dapat diselesaikan dengan cara dalam paragraf-1 Pasal ini, Negara Anggota dapat meminta Direktur Jenderal untuk mengupayakan penyelesaiannya.
3. Suatu Negara anggota setiap waktu dapat menyampaikan secara tertulis kepada Direktur Jenderal bahwa ia menerima penyelesaian yang diharuskan melalui arbitrasi yang menyangkut perbedaan interpretasi atau penerapan IHR. Dalam kaitan ini ia menjadi pihak yang berselisih dengan negara lain yang telah pula menerima ketentuan yang sama dalam menyelesaikan perselisihan. Arbitrasi harus dilaksanakan dengan mengacu pada peraturan Pengadilan Tetap Arbitrase, yang berlaku pada saat permohonan arbitrase dibuat. Negara Anggota yang telah menyetujui arbitrasi harus menerima keputusan arbitrasi sebagai keputusan yang mengikat dan bersifat final. Direktur Jenderal harus memberitahu Majelis Kesehatan mengenai kesepakatan tersebut.
4. IHR tidak mengurangi hak Negara Anggota yang terikat perjanjian internasional di mana mereka menjadi pihak yang turut menyelesaikan perselisihan dari organisasi antar pemerintah lain atau yang ditetapkan dalam perjanjian internasional lainnya.
5. Apabila terjadi perselisihan antara WHO dengan satu atau beberapa Negara mengenai interpretasi atau penerapan IHR, hal ini harus disampaikan ke Majelis Kesehatan.

Pasal 57 Kaitan dengan perjanjian internasional lainnya

1. Negara Anggota mengakui bahwa IHR dan perjanjian internasional lain harus ditafsirkan sedemikian rupa sehingga tidak bertentangan. Ketentuan dalam IHR tidak akan mempengaruhi hak dan kewajiban setiap Negara Anggota yang telah tercantum dalam perjanjian internasional lainnya.

2. Sesuai dengan paragraf 1 Pasal ini, IHR tidak dapat mencegah Negara Anggota yang memiliki kepentingan bersama karena adanya kesamaan derajat kesehatan, kondisi geografis, sosial atau ekonomi, untuk membuat perjanjian guna melancarkan penerapan IHR, khususnya yang berkaitan dengan:

(a) Pertukaran informasi langsung dan segera di bidang kesehatan masyarakat antar wilayah yang berbatasan dari Negara yang berbeda;
(b) tindakan yang dilakukan terhadap lalu-lintas pantai dan lalu-lintas internasional pada perairan di dalam wilayah hukum mereka;
(c) tindakan yang dilakukan di wilayah yang menyatu dari Negara yang berbeda di perbatasan;
(d) pengaturan untuk membawa orang sakit atau jenazah manusia yang terjangkit penyakit dengan alat angkut yang khusus digunakan untuk ini; dan
(e) Hapus tikus, hapus serangga, hapus hama, dekontaminasi atau penanganan lain yg ditujukan untuk membebaskan barang dari bibit penyakit;

3. Tanpa prasangka terhadap kewajiban mereka terhadap IHR, Negara yang menjadi anggota organisasi ekonomi regional, harus menerapkan dalam kerjasama mereka peraturan yang berlaku dalam organisasi ekonomi regional tersebut..

Pasal 58 Perjanjian dan peraturan sanitasi internasional

1. Berbagai perjanjian di bidang sanitasi, berdasarkan ketentuan Pasal 62 dan pengecualian yang ada, akan menggantikan peraturan yang berlaku bagi Negara yang terikat dengan IHR ini, dan diantara Negara ini dengan WHO, perjanjian dan peraturan sanitasi internasional berikut ini:
(a) Konvensi Sanitasi Internasional yang ditanda tangani di Paris, 21 Juni 1926;
(b) Konvensi Sanitasi Internasional mengenai navigasi udara yang ditanda tangani di Den Hague, 12 April 1933;
(c) Kesepakatan Internasional mengenai penetapan UU Kesehatan ditandatangani di Paris, 23 Des 1934;
(d) Kesepakatan Internasional mengenai penetapan Visa Konsuler dari UU Kesehatan yang ditanda tangani di Paris 22 Desember 1934;
(e) Konvensi perubahan Konvensi Sanitasi Internasional pada tanggal 21 Juni 1926 yang ditanda tangani di Paris, 31 Oktober 1938;
(f) Konvensi Sanitasi Internasional, 1944 yang merubah Konvensi Sanitasi Internasional tanggal 21 Juni 1926, yang ditanda tangani di Washington, 15 Desember 1944;
(g) Konvensi Sanitasi Internasional mengenai Navigasi Udara,1944, yang mengubah Konvensi Sanitasi Internasional tanggal 12 April 1933, yang di tanda tangani di Washington tanggal 15 Desember 1944;
(h) Protokol 23 April 1946 untuk memperpanjang Konvensi sanitasi Internasional,1944,yang di tanda tangani di Washington;
(i) Protokol 23 April 1946 untuk memperpanjang Konvensi sanitasi Internasional mengenai Navigasi udara,1944, yang di tanda tangani di Washington;
(j) Peraturan Sanitasi Internasional,1951, dan Peraturan Tambahan tahun 1955, 1956, 1960, 1963 dan 1965; dan
(k) IHR,1969, dan perubahannya tahun 1973 dan 1981.
2. UU Sanitasi Pan Amerika, yang di tanda tangani di Havana tanggal 14 Nopember 1924, harus tetap berlaku dengan pengecualian pada Pasal 2, 9, 10, 11, 16 sampai 53, Pasal 61 dan 62, di mana bagian yang relevan dari paragraaf-1 Pasal ini harus dilakukan.

Pasal 59 Mulai berlakunya IHR; batas waktu pengajuan penolakan atau keberatan

1. Waktu yang diberikan Pasal 22 Konstitusi WHO untuk mengajukan penolakan atau keberatan terhadap IHR atau atas perubahannya, adalah 18 bulan dari tanggal pemberitahuan oleh Direktur Jenderal tentang pengesahan IHR, atau perubahan IHR oleh Majelis Kesehatan. Setiap penolakan atau keberatan yang diterima oleh Direktur Jenderal setelah berakhirnya jangka waktu tersebut tidak akan ditanggapi.
2. IHR akan berlaku 24 bulan setelah tanggal pemberitahuan pada paragraf 1 Pasal ini, kecuali untuk:
(a) Suatu Negara yang telah menolak IHR atau perubahannya, sesuai dengan Pasal 61;
(b) Suatu Negara telah mengajukan keberatan, sehingga IHR diberlakukan sesuai dengan Pasal 62;
(c) Suatu Negara yang menjadi anggota WHO setelah tanggal pemberitahuan oleh Direktur Jenderal sesuai dengan paragraf 1 Pasal ini, dan dengan sendirinya belum terikat pada IHR, maka IHR diberlakukan sesuai dengan Pasal 60; dan
(d) Bagi Negara yang bukan anggota WHO tetapi menerima IHR, pemberlakuan IHR mengacu pada paragraf 1 Pasal 64.
3. Bila suatu Negara tidak mampu sepenuhnya menyesuaikan peraturan perundang-undangannya yang berkaitan dengan IHR, dalam jangka waktu yang ditentukan dalam paragraf 2 Pasal ini, Negara tersebut harus menyerahkan kepada Direktur Jenderal dalam jangka waktu yang ditentukan dalam paragraf 1 Pasal ini, pernyataan untuk menyesuaikannya dalam waktu tidak lebih dari 12 bulan setelah berlakunnya IHR bagi Negara tersebut.

Pasal 60 Anggota Baru WHO

Negara yang menjadi anggota WHO setelah tanggal pemberitahuan oleh Direktur Jenderal sesuai dengan paragraf 1 Pasal 59, namun belum mengakui IHR, dapat mengajukan penolakan atau keberatan, dalam waktu 12 bulan sejak negara tersebut resmi menjadi anggota WHO. Apabila penolakan atau keberatan terhadap IHR yang diajukan diterima, IHR akan diberlakukan bagi Negara tersebut, sesuai dengan ketentuan pada Pasal 62 dan 73, sampai bertakhirnya jangka waktu tersebut. Pemberlakuan IHR di Negara baru tersebut tidak dimungkinkan kurang dari 24 bulan setelah tanggal pemberitahuan sesuai dengan paragraf 1 Pasal 59.

Pasal 61 Penolakan

Bila suatu Negara memberitahu Direktur Jenderal mengenai penolakannya terhadap IHR atau perubahannya dalam jangka waktu sesuai dengan paragraph-1 Pasal 59, IHR atau perubahannya tidak boleh diberlakukan pada Negara tersebut. Sebagai konsekuensinya, perjanjian sanitasi internasional yang tecantum dalam daftar di Pasal-58 dan telah diakui Negara tersebut akan tetap berlaku baginya.

Pasal 62 Keberatan

1. Negara anggota dapat menyatakan keberatan terhadap IHR sesuai dengan Pasal ini. Keberatan tersebut tidak boleh bertentangan dengan tujuan dan maksud IHR.
2. Keberatan terhadap IHR harus diberitahukan kepada Direktur Jenderal sesuai dengan paragraph-1 Pasal 59 dan Pasal 60, paragraf 1 Pasal 63 atau paragraf 1 Pasal 64, tergantung materinya. Negara yang bukan anggota WHO harus memberitahu Direktur Jenderal setiap keberatan bersamaan dengan pernyataan bahwa negara ybs menerima IHR. Negara yang menyatakan keberatan harus menyatakan alasan dari keberatan tersebut kepada Direktur Jenderal.
3. Penolakan terhadap sebagian IHR akan dianggap sebagai keberatan.
4. Direktur Jenderal sesuai dengan paragraf 2 Pasal 65, harus memberitahu semua negara anggota setiap merima pernyataan keberatan dari mereka sesuai dengan paragraf 2 Pasal ini. Direktur Jenderal harus:
(a) meminta Negara Anggota yang tidak menolak IHR, bila keberatan dibuat sebelum berlakunya IHR, untuk memberitahunya dalam kurun waktu enam bulan bila menolak suatu keberatan, atau
(b) meminta Negara Anggota, bila pernyataan keberatan dibuat setelah berlakunya IHR, untuk memberitahunya dalam kurun waktu enam bulan, bila menolak suatu keberatan. Negara yang menolak suatu keberatan yang diajukan oleh negara lain harus memberikan alasan penolakannya kepada Direktur Jenderal.
5. Setelah kurun waktu ini, Direktur Jenderal harus memberitahu segenap Negara Anggota, jumlah negara yang menolak pernyataan keberatan yang diterimanya. Apabila setelah enam bulan berlalu terhitung dari tanggal pemberitahuan sesuai dengan paragraf 4 Pasal ini, keberatan telah ditolak oleh 1/3 dari Negara Anggota sesuai dengan paragraf 4 Pasal ini, IHR dinyatakan diterima, dan berlaku bagi Negara yang mengajukan keberatan tersebut.
6. Bila sekurang-kurangnya 1/3 Negara sesuai dengan paragraf 4 Pasal ini menolak keberatan yang diajukan pada akhir bulan keenam sejak tanggal pemberitahuan sesuai dengan paragraf 4 Pasal ini, Direktur Jenderal harus memberitahu Negara yang mengajukan keberatan agar negara tersebut mempertimbangkan untuk mencabut keberatannya dalam kurun waktu 3 bulan sejak tanggal pemberitahuan oleh Direktur Jenderal.
7. Negara yang mengajukan keberatan tersebut harus tetap memenuhi setiap kewajiban yang tercantum dalam pernyataan keberatannya di mana Negara tersebut telah menerimanya sesuai dengan perjanjian sanitasi internasional atau peraturan yang terdapat dalam daftar pada Pasal 58.

8. Bila Negara yang mengajukan keberatan tersebut tidak mencabut pernyataan keberatannya dalam waktu 3 bulan sejak tanggal pemberitahuan oleh Direktur Jenderal sesuai dengan paragraf 6 Pasal ini, Direktur Jenderal harus meminta pandangan Komite Penelaah bila Negara tersebut memintanya. Komite Penelaah harus menyampaikan pendapat kepada Direktur Jenderal sesegara mungkin dan sesuai dengan Pasal 50 mengenai dampak dari keberatan yang diajukan terhadap penerapan IHR.

9. Direktur Jenderal harus menyampaikan keberatan yang diajukan oleh negara anggota, dan pandangan Komite Penelaah, bila perlu, kepada Majelis Kesehatan untuk dipertimbangkan. Bila Majelis Kesehatan dengan suara mayoritas, menolak keberatan yang diajukan dengan alasan tidak sesuai dengan tujuan dan maksud dari IHR, maka IHR harus diberlakukan kepada Negara tersebut setelah ybs menarik pernyataan keberatannya sesuai dengan Pasal 63. Bila Majelis Kesehatan menerima keberatan yang diajukan,, IHR harus diberlakukan terhadap Negara tersebut, sesuai dengan materi yang diajukan.


Pasal 63 Pencabutan atas pernyataan
penolakan atau pernyatan keberatan

1. Suatu pernyataan penolakan yang dibuat sesuai dengan Pasal 61 dapat dicabut setiap saat oleh Negara ybs dengan memberitahu Direktur Jenderal. Dalam hal ini, IHR mengikat Negara tersebut sesuai dengan Pasal-62 setelah menerima pemberitahuan dari Direktur Jenderal, kecuali Negara tersebut menyampaikan keberatan sewaktu menarik pernyataan penolakannya. IHR tidak boleh diberlakukan kepada Negara tersebut kurang dari 24 bulan setelah tanggal pemberitahuan sesuai dengan paragraf-1 Pasal-59.
2. Seluruh atau sebagian materi yang disampaikan pada pernyataan keberatan setiap saat dapat ditarik oleh Negara Anggota ybs dengan memberitahu Direktur Jenderal. Dalam hal ini, penarikan pernyataan keberatan akan berlaku pada saat pemberitahuan diterima oleh Direktur Jenderal.

Pasal 64 Negara yang bukan Anggota WHO

1. Setiap Negara yang bukan anggota WHO, yang menerima perjanjian atau peraturan sanitasi internasional sesuai dengan daftar pada Pasal-58 atau di mana Direktur Jenderal telah memberitahu pengesahan IHR oleh Majelis Kesehatan Dunia, dapat menerima IHR setelah memberitahu Direktur Jenderal dan, sesuai dengan ketentuan Pasal-62, pernyataan menerima IHR akan efektif pada tanggal berlakunya IHR. Bila pernyataan menerima tersebut disampaikan setelah tanggal tersebut, IHR baru berlaku bagi negara tersebut 3 bulan setelah Direktur Jenderal menerima pemberitahuan dari ybs.
2. Setiap Negara yang bukan anggota WHO yang menerima IHR, dapat menarik kembali pernyataannya setiap saat, dengan memberitahu Direktur Jenderal.Tindakan ini akan efektif enam bulan setelah Direktur Jenderal menerima pemberitahuan tersebut. Negara yang telah menarik kembali dukungannya terhadap IHR, sejak tanggal tersebut harus melaksanakan kembali ketentuan dari peraturan dan perjanjian sanitasi internasional sesuai dengan daftar pada Pasal-58 di mana sebelumnya ia telah menerima ketentuan yang tertuang di dalamnya.

Pasal 65 Pemberitahuan oleh Direktur Jenderal

1. Direktur Jenderal harus memberitahukan kepada segenap Negara Anggota dan “associate members” WHO, dan juga pihak-pihak lain yang telah menerima perjanjian sanitasi internasional atau peraturan peraturan dalam daftar pada Pasal 58, tentang pengesahan IHR oleh Majelis Kesehatan.
2. Direktur Jenderal harus juga memberitahu setiap Negara yang telah menerima IHR atau perubahan dari IHR, setiap pemberitahuan yang diterima oleh WHO dari negara anggota sesuai dengan Pasal 60 sampai dengan Pasal 64, dan setiap keputusan yang diambil oleh Majelis Kesehatan sesuai dengan Pasal-62.

Pasal 66 Teks Asli

1. Teks IHR ini dalam bahasa Arab, Cina, Inggeris, Perancis, Rusia dan Spanyol harus sesuai dengan aslinya. Teks asli dari IHR disimpan di WHO.
2. Direktur Jenderal harus mengirimkan, dengan pemberitahuan sesuai dengan paragraf 1 Pasal 59, salinan resmi IHR kepada seluruh anggota dan “associate members”, dan juga kepada pihak lain yang telah menerima perjanjian sanitasi internasional atau peraturan yang tertera pada daftar di Pasal 58.
3. Pada waktu IHR ini diberlakukan, Direktur Jenderal harus mengirimkan salinan resminya kepada Sekretaris Jenderal PBB untuk pendaftaran sesuai dengan Pasal 102 Piagam PBB.

DITERJEMAHKAN ULANG DAN DI EDIT OLEH: dr. Kumara Rai
 

blogger templates | Make Money Online